Translate

Tampilkan postingan dengan label KUHPerdata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KUHPerdata. Tampilkan semua postingan

Jumat, Agustus 20, 2021

BEBERAPA PASAL DALAM KUHPERDATA TENTANG AKTA NOTARIS

REFRESHING : BEBERAPA PASAL DALAM KUHPERDATA TENTANG AKTA NOTARIS YANG HARUS KITA INGAT KEMBALI. SERING KITA LUPA, KARENA KITA TERLENA TERLALU BANYAK MEMBUAT AKTA ATAU KITA TERLALU BANYAK PIKNIK (SEBELUM COVID 19). 
KITA BACA LAGI :

Pasal 1871 :
Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan Iangsung dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.

Pasal 1872 :
Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata.

Pasal 1873 :
Persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga.

Pasal 1874 :
Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan.Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut. Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.

Pasal 1874a :
Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penanda tangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.
Dalam hal ini berlaku ketentuan alinea ketiga dan keempat dan pasal yang lalu.

Pasal 1875 :
Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.

Repost tulisan HBA

Sabtu, Mei 02, 2020

SELUK BELUK PERKAWINAN UNTUK DIKETAHUI

Buku I KUHPerdata mengenai orang adalah mengenai perkawinan. Timbul pertanyaan apa pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan?Bagaimana syarat sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan?Apa perbedaan pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan dan KUHPerdata?.Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaanya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUP. Berdasar pada hal tersebut maka setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) agar mempunyai kedudukan yang kuat menurut hukum serta memilki kepastian hukum untuk melindungi hak-hak pihak terkait di masa yang akan datang. UU Perkawinan memandang perkawinan sebagai ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Sedangkan KUHPerdata pada dasarnya tidak memberikan definisi atau pengertian perkawinan. Hanya saja dalam pasal 26 diberikan batasan sebagai berikut: “Undang-Undang hanya memandang soal perkawinan dalam hubungan-hubungan perdata.” Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan KUHPerdata memandang perkawinan sebagai perjanjian yang berisi hak dan kewajiban suami istri dan menurut pasal 81 KUHPerdata, bahwa “tidak ada suatu acara keagamaan boleh dilakukan, sebelum kedua belah pihak kepada pejabat agama mereka membuktikan, bahwa perkawinan di hadapan pencatatan sipil telah dilangsungkan,” dengan demikian perkawinan cukup dilangsungkan di hadapan pencatatan sipil saja dan tidak ada kaitannya dengan agama pasangan.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan perkawinan menurut UU Perkawinan. Untuk menjamin tercapainya tujuan perkawinan, maka orang yang akan melakukan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 6 s.d. 12 UUP, yang terdiri dari:
 Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) UUP)
 Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (2) UUP).
 Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah 19 tahun (Pasal 7 ayat (1) UUP-P).
 Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8 UUP).
 Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain  (Pasal 9 UUP) kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 UUP.
 Perkawinan setelah kedua kalinya antara orang yang sama adalah dilarang (Pasal 10 UUP).
 Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda (Pasal 11 UUP).
Sedangkan mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri (Pasal 12 UUP).

Apa akibat hukum dari perkawinan berdasarkan UU Perkawinan dan KUHPerdata terhadap: Suami istri, Harta kekayaan dan Anak. Sebagai suatu hubungan hukum, perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri. Hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam Pasal 30-34 UU Perkawinan.  Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, maka masing-masing dapat menuntutnya terhadap pihak lain dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan, dari hal tersebut tercermin bahwa kedudukan suami dan isteri dalam perkawinan adalah seimbang dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

perkawinan berakibat pada harta kekayaan suami dan isteri. Sebelumnya berdasarkan Pasal 119 KUHPerdata, sejak dilangsungkannya perkawinan maka demi hukum berlakulah persatuan bulat harta kekayaan suami dan istri. Sejak berlakunya UU Perkawinan, harta kekayaan suami dan isteri diatur dalam Pasal 35 s.d 37 dan 65 UU Perkawinan. Dalam Pasal 35 UU Perkawinan dinyatakan bahwa harta yang didapat selama perkawinan menjadi harta bersama, kecuali ditentukan lain dengan perjanjian perkawinan yang dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. 

Sehingga dalam UU Perkawinan, harta bawaan suami atau isteri tetap menjadi harta pribadi masing-masing. Persatuan harta baru terjadi setelah perkawinan berlangsung dan bubar pada saat perkawinan bubar. Pasal 36 UU Perkawinan menyebutkan bahwa untuk harta bersama, suami atau isteri bertindak harus dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan untuk harta bawaan suami dan isteri dapat bertindak tanpa persetujuan. Menurut Pasal 37 UU Perkawinan jika perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta bawaan masing-masing suami-isteri, serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama. Pada mulanya perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan, namun dengan adanya Putusan Mahkamah Kontistusi Nomor 60/PUU-XII/2015 maka perjanjian perkawinan dapat dilakukan setelah perkawinan berlangsung.

KUHPerdata mengenal dua macam kedudukan anak yaitu, anak sah dan anak luar kawin. Pasal 250 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa KUHPerdata menganut prinsip bahwa anak sah dilahirkan dari perkawinan yang sah. Namun apabila anak lahir kurang dari 180 (seratus delapan puluh hari) sejak perkawinan berlangsung maka suami dapat melakukan pengingkaran terhadap anak tersebut (Pasal 251 KUHPerdata). 

Berbeda dengan KUHPerdata, UU Perkawinan mengatur bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Berdasarkan pasal tersebut, maka anak yang dilahirkan diluar atau akibat perkawinan yang tidak sah adalah anak luar kawin. Pasal 43 UUP menyatakan bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Dalam perkembangan, terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-2010 Tanggal 13 Februari 2012 Tentang Status Anak Luar Kawin yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya, sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Berbeda dengan KUHPerdata, UUP tidak menyebutkan mengenai batas waktu penyangkalan anak. Pasal 44 UUP hanya menyebutkan bahwa seorang suami dapat menyangkal anak yang dilahirkan oleh isterinya jika ia dapat membuktikan bahwa anak tersebut adalah anak zinah.

UU Perkawinan dan KUHPerdata mengatur mengenai sebab dan alasan putusnya perkawinan. Sekalipun sebuah perkawinan suami istri telah putus, maka mereka tetap memiliki kewajiban terutama terhadap anaknya. Apa saja kewajiban tersebut menurut UU Perkawinan? Pasal 41 UU Perkawinan mengatur kewajiban ayah dan ibu yang telah bercerai, yaitu:
a. ayah dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan akan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri. 

Senin, Februari 17, 2020

WASIAT MENURUT PASAL 195 AYAT (3) KHI DAN PASAL 930 – 931 KUHPERDATA :

DI BAWAH TANGAN ADALAH BATAL DEMI HUKUM, KARENA TIDAK MEMENUHI SYARAT SAHNYA WASIAT MENURUT HUKUM ISLAM DI INDONESIA, SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 194 DAN 195 KOMPILASI HUKUM ISLAM.

Pasal 195 KHI:
(1) WASIAT DILAKUKAN SECARA LISAN DI-HADAPAN DUA ORANG SAKSI, ATAU TERTULIS DIHADAPAN DUA ORANG SAKSI, ATAU DIHADAPAN NOTARIS.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada  ahli waris  berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) PERNYATAAN  PERSETUJUAN  PADA AYAT (2) DAN AYAT (3) PASAL INI DIBUAT SECARA LISAN DI HADAPAN DUA ORANG SAKSI ATAU TERTULIS DI HADAPAN DUA ORANG SAKSI DI HADAPAN NOTARIS. 

KAIDAH HUKUM (KHI):  “Wasiat terhadap sebagian ahli waris tanpa persetujuan ahli waris lainnya dapat dimohonkan pembatalan oleh ahli waris lain yang tidak dimintai persetujuan.” 

COBA BANDINGKAN DENGAN ;
Dalam Pasal 930 – 931 KUHPerdata :
Pasal 930 KUHPerdata : Tidaklah diperkenankan dua orang atau lebih membuat wasiat dalam satu akta yang sama, baik untuk keuntungan pihak ketiga maupun berdasarkan penetapan timbal balik atau bersama. 

Pasal 931 KUHPerdata : Surat wasiat hanya boleh dibuat, dengan akta olografis atau ditulis tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta rahasia atau akta tertutup.

Sehingga Notaris ketika ada yang meminta membuat Wasiat wajib memperhatikan pasal-pasal yang mengatur dalam pembuatan Wasiat, baik menurut KHI (jika orang yang beragama Islam) atau menurut Pasal 930 – 931 KUHPerdata.

Kamis, Januari 30, 2020

APAKAH OPSI PENOLAKAN WARIS MENURUT HUKUM WARIS PERDATA DAPAT GUGUR?

Sebagaimana dipahami penolakan sebagai ahli waris untuk subjek hukum yang tunduk pada hukum perdata diatur dalam Pasal 1057 KUHPerdata, yaitu harus dilakukan dihadapan panitera Pengadilan Negeri, sampai kemudian ada Penetapan PN. Dalam prakteknya, beberapa pengadilan negeri memakai 2 macam pemahaman :
1. Notaris membuat surat keterangan waris dahulu (SKW), kemudian dengan SKW tersebut disampaikan kepada PN baru kemudian dibuatkan akta penolakan waris dari ahli waris yang menolak. Dalam hal demikian setelah terjadinya penolakan, notaris membuat SKW lagi yang menunjukpenolakan waris tersebut, yang berisikan nama-nama ahli waris yang tidak menolak.
2. Ahli waris yang menolak, melakukan penolakan didepan Panitera Pengadilan Negeri, yaitu sebelum dibuat SKW sehingga notaris mengeluarkan SKW yang berisikan nama-nama ahi waris yang tidak menolak.

Bahwa apabila dilihat dari Putusan MARI Nomor 23 K/Sip/1973, disebutkan bahwa ahli waris yang menyatakan diri menolak harta warisan, danpenolakan itu telah dikeluarkan penetapan oleh PN, tidak dapat lagi menuntut harta peninggalan dari pewaris. Oleh karena itu maka disamping tidak dapat meminta pembagian waris, juga tidak dapat menuntut harta peninggalan yang dikuasai oleh pihak lain.

Lebih lanjut tentu harus dilihat ketentuan Pasal 1058 KUHPerdata yang menyebutkan ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi waris.
Bahwa berdasarkan Pasal 1064 KUHPerdata juncto Pasal 1031 KUHPerdata :
Pasal 1064 KUHPerdata
Ahli waris yang menghilangkan atau menyembunyikan barang-barang yang termasuk harta peninggalan, kehilangan wewenang untuk menolak warisannya; ia tetap sebagai ahli waris murni, meskipun ia menolak, dan tidak boleh menuntut suatu bagian pun dari barang yang dihilangkan atau disembunyikannya. 

Pasal 1031 KUHPerdata
Ahli waris kehilangan hak istimewa pemerincian, dan dianggap sebagai ahli waris murni: 
1. bila ia dengan sadar dan sengaja, serta dengan itikad buruk, tidak memasukkan barang- barang yang termasuk harta peninggalan ke dalam pemerincian harta itu; 
2. bila ia berbuat salah dengan menggelapkan barang-barang yang termasuk warisan itu. 
Bahwa para ahli waris kehilangan hak atau wewenangnya untuk menolak warisan atau harta peninggalan, bila  ahli waris telah menghilangkan atau menyembunyikan benda-benda yang termasuk harta peninggalan tersebut. Sanksinya adalah orang tersebut (yang menghilangkan atau menyembunyikan) tetap merupakan ahli waris, walaupun orang tersebut menolak. Dan orang tersebut juga tidak dapat menuntut sesuatu bagian dalam harta yang telah dihilangkan atau disembunyikan itu.

Pasal 1031 KUHPerdata ditegaskan pula bahwa seseorang akan kehilangan haknya untuk mengadakan pendaftaran harta secara istimewa (beneficiar), jika ia dengan sengaja dan dengan itikad buruk telah tidak memasukkan dalam daftar yang bersangkutan harta yang termasuk warisan itu, dan/atau jika ia telah bersalah melakukan penggelapan harta dimaksud.

Perhatikan juga Pasal 137 KUHPerdata dan pasal 1042 KUHPerdata:
Pasal 137 KUHPerdata:
Isteri yang telah menghilangkan atau menggelapkan barang-barang dan harta bersama, tetap berada dalam penggabungan meskipun telah melepaskan dirinya; hal yang sama berlaku bagi para ahli warisnya. 
Pasal 1042 KUHPerdata:
Ketentuan-ketentuan dari Pasal 1024, Pasal 1031 dan berikutnya juga berlaku bagi ahli waris yang menggunakan hak untuk berpikir, telah menerima warisan dengan hak istimewa untuk mengadakan pemerincian harta peninggalan, dengan memberikan pernyataan seperti yang tersebut dalam penutup pasal 1029. 

Tulisan Dr. Udin Narsudin

Selasa, Juli 02, 2019

Sekilas tentang Perjanjian Tukar-Menukar

google.com/foto
Tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain. (vide Pasal 1541 BW). Perjanjian tukar menukar adalah suatu perjanjian konsensual dalam arti bahwa ia sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang barang yang menjadi obyek dari perjanjiannya.

Segala apa yang dapat dijual dapat pula menjadi obyek perjanjian tukar-menukar. Dalam melakukan perjanjian tukar-menukar, masing-masing pihak harus pemilik dari barang yang dia janjikan untuk serahkan dalam tukar menukar itu. Adapun syarat bahwa masing-masing harus pemilik itu, baru berlaku pada saat pihak yang bersangkutan menyerahkan barangnya atau tepatnya menyerahkan hak milik atas barangnya. Juga mengenai barang bergerak disini berlaku ketentuan pasal 1977 BW.

Begitu pula kewajiban untuk menanggung akan menikmati tenteram dan terhadap cacad-cacad tersembunyi berlaku bagi seorang yang telah memberikan barangnya dalam tukar-menukar. Adanya kealpaan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut merupakan wanprestasi yang merupakan alasan untuk menuntut ganti-rugi atau pembatalan perjanjian. Pasal 1546 BW berbunyi : untuk selanjutnya aturan-aturan tentang perjanjian jual beli berlaku terhadap perjanjian tukar-menukar.

Bagaimana risiko dalam perjanjian tukar-menukar? Pasal 1545 berbunyi : Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar.

sumber :

Subekti. 2014. Aneka Perjanjian.Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata/ BW (Burgelijk Wetboek

Rabu, Maret 13, 2019

Perbedaan Sederhana antara Perjanjian Kredit, Pinjam-Meminjam dalam KUH Perdata dan Perjanjian yang timbul oleh Pasal 1338 jo 1320 KUH Perdata

Di bawah ini adalah berbagai penjelasan tentang beberapa perbedaan pokok antara perjanjian kredit, perjanjuan pinjam-meminjam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Perjanjian yang timbul dari Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUH Perdata, berikut:


1. Perjanjian Kredit.

  • Perjanjian bernama dalam (artinya nama perjanjian yang sudah ditentukan) dalam aturan perbankan;
  • Bank wajib mengetahui penggunaan dana;
  • wajib memenuhi prinsip 5C ( character (watak), capital (modal), capacity (kemampuan), collateral (jaminan), condition of economy (kondisi ekonomi);
  • Istilah nasabah kreditur dan nasabah debitur;
  • Penghentian pinjaman dapat dilakukan meskipun belum jatuh tempo kredit;
  • Bank di bawah pengawasan Bank Indonesia dan OJK;
  • Berlaku standar kontrak (take it or leave it);
  • Disertai bunga (dapat juga provisi, administarisi, dll);
  • Memiliki jaminan diikat dengan (hak tanggungan, fidusia, cessie, personal guarantee).
  • Biaya bunga, provisi, administrasi, asuransi jiwa, asuransi kredit ditentukan oleh bank baik nilai maupun besarnya.

2. Pinjam-meminjam (KUH Perdata).

  • Perjanjian dalam arti luas (BAB III KUH Perdata);
  • Pemberi pinjaman tidak perlu mengetahui penggunaan dana pinjaman;
  • Sepenuhnya pemberian pinjaman berada di bawah pertimbangan kreditur;
  • Kreditur dan Debitur;
  • Penghentian tidak dapat dilakukan sepihak melainkan sampai jangka waktu selesai;
  • Tidak ada pengawasan dari lembaga;
  • Isi perjanjian berdasarkan kesepakatan;
  • Dapat ditentukan bunga atau tidak;
  • Praktek tidak diikat dan didaftarkan kepada lembaga jaminan;
  • Tidak ditentukan biaya bunga, provisi, administrasi, asuransi jiwa, asuransi kredit.

3. Perjanjian timbul oleh Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUH Perdata.

  • Bebas ditentukan kreditur dan debitur perjanjian apa yang dimaksud;
  • Tidak perlu diketahui penggunaan dana;
  • Sepenuhnya pemberian pinjaman berada di bawah pertimbagan  kreditur;
  • Kreditu dan Debitur;
  • Kesepakatan dalam menentukan tanggal jatuh tempo;
  • Tidak ada pengawasan dari lembaga;
  • Isi perjanjian berdasarkan kesepakatan;
  • Dapat ditentuka bunga atau tidak;
  • Praktek tidak diikat dan didaftarkan kepada lembaga jaminan;
  • Tidak ditentukan biaya bunga, provisi, administrasi, asuransi jiwa, asuransi kredit.
sumber :

Sutrisno. 2019. Modul Kuliah Teknik Pembuatan Akta II : Perjanjian Kredit dan Jaminan di Bank. Medan : Tanpa Penerbit.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

    Kamis, Februari 28, 2019

    Pewarisan secara Ab Intestato (Undang-Undang)

    google.com/foto

    Pada kesempatan ini, kita membahas tentang bagaimana pengaturan pewarisan ketika seseorang meninggal dunia menurut Kitab Undang-Undang Perdata (KUH Perdata)/BW. Bahwa hukum waris diatur di dalam Buku II BW, yang dimulai dari Pasal 830 - Pasal 1130. Hukum waris itu sendiri adalah hukum yang mengatur tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia yang berkaitan dengan pemindahan kekayaan yang ditinggalkannya, oleh karena itu terjadi warisan.

    Pewarisan menurut BW terdiri dari 2 cara :

    1. Pewarisan secara Ab Intestato (berdasarkan Undang-Undang) (Pasal 830-Pasal 873 BW);
    2. Pewarisan secara Testamentair (berdasarkan wasiat) (Pasal 874-Pasal 1022 BW).

    Ketentuan-ketentuan mewaris, antara lain :

    • Pewarisan hanya terjadi karena kematian (Pasal 830 BW);
    • Bila beberapa orang yang antara seorang dengan yang lainnya ada hubungan pewarisan, meninggal pada hari yang sama, tanpa diketahui siapa yang meninggal lebih dahulu, maka mereka dianggap meninggal pada saat yang sama, dan terjadi peralihan warisan dari yang seorang kepada yang lainnya (Pasal 831 BW);
    • Menurut Undang-Undang, yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, manurut peraturan-peraturan berikut ini, ............ (Pasal 832 BW);
    • Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan ......... (Pasal 838 BW);
    • Penggantian memberikan hak kepada orang yang mengganti untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya (Pasal 841).

    Kelompok ahli waris, terdiri dari : 

    • Golongan I, antara lain Istri/suami, anak-anak dan keturunannya;
    • Golongan II, antara lain bapak/ibu (orang tua), saudara-saudara seayah, seibu ataupun seayah dan seibu;
    • Golongan III, antara lain keluarga sedarah ayah dan ibu lurus ke atas (kakek, nenek);
    • Golongan IV, antara lain kelurga sedarah ayah atau ibu kedamping atau diluar golongan III (paman, bibi dan keturanannya); (Gol I,II,III,IV Pasal 852-Pasal 861 BW)
    • Anak luar kawin yang diakui (Pasal 862 jo Pasal 280 BW);
    • Anak angkat sama dengan anak sah (Stb 1917 no. 129).

    Bagian/ jumlah/porsi masing-masing ahli waris, sebagai berikut :

    • ........mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala,......... (Pasal 852 BW);
    • ........bapak dan ibunya masing-masing mewarisi seperempat bagian, ....... (Pasal 854-Pasal 855 BW);
    • Pembagian dari apa yang menurut pasal-pasal tersebut di atas menjadi bagian saudara perempuan dan laki-laki, dilakukan antara mereka menurut bagian-bagian yang sama, bila mereka berasal dari berbagai perkawinan, maka apa yang mereka warisi harus dibagi menjadi dua bagian yang sama............. (Pasal 857 BW);
    • Anak luar kawin, tergantung kelas I,II,III,IV;
    • .............maka anak-anak luar kawin itu mewarisi sepertiga dari bagian yang sedianya mereka terima (sepertiga dari kelas I, setengah dari kelas II, dan III, tiga per empat dari kelas IV) (Pasal 863 BW);
    • .............bagian isteri atau suami tidak boleh melebihi seperempat  dari harta peninggalan  di pewaris (Pasal 852a BW).
    sumber :

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH perdata)/Burgelijk Wetboek/ BW.

    Jumat, Februari 15, 2019

    Apa itu Teknik Pembuatan Akta PPAT ?



    google.com/foto
    Teknik pembuatan akta PPAT, dalam bahasa Inggris disebut dengan PPAT deed making techinique, Bahasa Belanda disebut dengan PPAT acte het maken van techniek. Bentuk akta PPAT terdiri atas bagian sampul (cover), judul (titel), pembukaan (opening), para pihak (komparisi), substansi, syarat-syarat, penutup (closing) dan tanda tangan (signature).

    Ada 4 unsur yang tercantum dalam Teknik Pembuatan Akta PPAT, meliputi :
    1. Teknik.

    Ada 3 pengertian tentang teknik, yang meliputi :
    • pengetahuan dan kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan hasil industri;
    • cara (kepandaian dan sebagainya) membuat atau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan seni,
    • metode atau sistem untuk mengerjakan sesuatu.

    2. Pembuatan.

    Pembuatan adalah proses, perbuatan atau cara membuat, yang diartikan menciptakan, melakukan, mengerjakan atau menggunakan sesuatu.

    3. Akta.

    Akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dan sebagainya) resmi yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh notaris atau pejabat pemerintah yang berwenang.

    4. PPAT.

    PPAT merupakan pejabat yang diberi kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan peralihan, pemindahan dan pembebanan terhadap hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun.

    Ruang Lingkup Kajian Teknik Pembuatan Akta PPAT.

    Adapun ruang lingkup kajiannya sebagai berikut :
    1. konsep teoretis tentang teknik pembuatan akta PPAT;
    2. konsep teoretis tentang hak atas tanah;
    3. arti dan fungsi akta PPAT;
    4. kewenangan PPAT
    5. akta jual beli;
    6. akta tukar menukar;
    7. akta hibah;
    8. akta pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
    9. akta pembagian hak bersama;
    10. akta pemberian hak guna bangunan, hak pakai atas tanah hak milik;
    11. surat kuasa membebankan hak tanggungan;
    12. akta pemberian hak tanggungan.
    Sumber-Sumber Hukum
    1. Buku IV KUH Perdata tentang Pembuktian dan Daluawarsa. Pasal 1865 KUH Perdata s.d Pasal 1894 KUH Perdata.
    2. UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
    3. UU 4/1996 tentang Hak tanggungan atas tanag beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
    4. PP 4/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas tanah.
    5. PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
    6. PP 37/1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuta Akta Tanah.
    7. Perkaban BPN 1/2006 tentang Ketentuan pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembaut akta tanah.
    8. Perkaban BPN RI 8/2012 tentang perubahan peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN RI no. 3 tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pemdaftaran tanah (perkaban 8/2012)
    Asas-asas Hukum 
    1. Asas publicitet, yaitu  asas bahwa semua hak, tanggungan dan hipotek harus didaftarkan. Supaya pihak ketiga dapat mengetahui benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota.
    2. Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan dan hipotek hanya dapat dibebankan atas percil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu. Pasal 11 ayat (1) UU 4/1996, bahwa ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya akta pemberian hak tanggungan. tidak dicantumkannya secara lengkal hal-hal yang disebut pada ayat ini dalam akta pemberian hak tanggungan mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. ketentuan ini dimkasudkan untk memenuhi asas spesialitas dari hak tanggungan, baik mengenai subjek, objek maupun utang yang dijamin.
    3. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya utang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan dan hipotek walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.
    Disamping asas itu, ada dapat asas yang dikenal, yaitu :
    1. kepastian hukum; dan
    2. perlindungan hukum.
    Hubungan dengan Hukum Agraria.

    Hukum agraria bersifat umum, karena hukum agraria menganalisi dan mengkaji tentang bumi, air dan ruang angkasa.
    1. pengertian bumi adalah permukaan bumi, tubuh bumi dibawahnya dan yang berada di bawah air. Bumi merupakan permukaan tanah 
    2. air adalah semua air yang terdapat pada diatas, ataupun di bawah permukaan tanah, air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang berada di darat
    3. raung angkasa adalah ruang di atas bumi dan air
    Teknik Pembuatan Akta PPAT merupakah bersifat khusus karena hanya mengkaji tentang salah satu bagian dari hukum tanah, yaitu tentang peraliohan dan pembebanan hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun. Peralihan dan pembebanan itu harus dituangkan dalam akta PPAT. Les specialis drogaat Lex generale (undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum)



    sumber :

    Salim HS dan Erlies Septiana Hurbani. 2014. Perbandingan Hukum Perdata (comparative civil law). Jakarta : RajaGrafindo.

    Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty.

    Salim HS. 2016. Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Jakarta ; Rajawali Pres.

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

    Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)

    Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

    Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

    Rabu, Februari 13, 2019

    Seberapa Pentingkah Akta Autentik ?

    google.com/foto
    Akta Autentik, dalam bahasa inggris disebut dengan authentic deed, bahasa belanda disebut dengan authentieke akte van yang diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.

    Pengertian akta autentik, sebagai berikut : 
    1. Pasal 1868 KUH Perdata menyatakan suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Maka ada 3 unsur , meliputi : a. dibuat dalam bentuk tertentu; b. dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu; dan b. tempat dibuatnya akta.
    2. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyebutkan akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang diterapkan dalam undang-undang ini.
    3. The Law Commission. Akta dikonstruksikan sebagai : a. instrumen tertulis; b. sibuat sesuai dengan formalitas yang telah ditentukan; c. substansinya memuat tentang : kepantingan para pihak, hak, property; atau kewajiban yang mengikat dari beberapa orang atau lebih.
    4. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berwenang membuat akta di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
    Akta Autentik merupakan surat tanda bukti yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

    Landasan Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Akta Autentik

    Landasan Filosofis, dalam bahasa inggris disebut authentic philosophical deed, Bahasa Belanda disebut dengan authentieke filosofische fundering deed adalah pandangan atau sikap batun dari masyarakat terhadap keberadaan akta autentik. Landasan ini termuat dalam UU JN, didalam pertimbangannya :
    1. NKRI sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara;
    2. Sebagai Alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang;
    3. Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.
    Jadi ada tiga landasan filosofis penyusunan akta autentik, antara lain :
    1. Menjamin kepaastian hukum;
    2. Menjamin ketertiban ;
    3. perlindungan hukum bagi setiap warga negara.


    Landasan yuridis akta autentik, yakni dasar-dasar atau ketentuan-ketentuan yang dibuat ileh pemerintah dengan persetujuan bersama DPR yang mengatur tentang akta autentik, sebagai berikut :
    1. KUH perdata
    2. HIR
    3. UU 5/60 tentang Pokok-pokok Agraria 
    4. UU 4/96 tentang Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah
    5. UU 42/99 tentang Jaminan Fidusia
    6. UU 40/07 tentang Perseroan terbatas
    7. UU 2/14 tentang perubahan atas UU 30/04 tentang Jabatan Notaris
    Landasan sosiologis diartikan sebagai dasar berlakunya akta autentik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Landasan ini berlakunya akta autentik dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
    1. Berlakunya secara normal, bahwa akta yang dibuat dihadapan notaris maupun PPAT dapat dilaksanakan oleh para pihak dengan baik dan tidak menimbulakn masalah dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.
    2. Berlakunya secara abnormal, bahwa akta yang dibuat di hadapan notaris maupun PPAT tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh para pihak.
    Jenis-jenis Akta Autentik

    Pada dasarnya akta dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

    1) Akta di bawah tangan.

    Akta di bawah tangan, bahasa Inggris disebut dengan deed under the hand, bahasa Belanda disebut dengan akte onder de hand, merupakan akta uang dibuat oleh para pihak, tanpa perantara seorang pejabat. Akta ini dapat dibagi menjadi 3 antara lain :
    1. akta di bawah tangan dimana para pihak menandatangani kontrak itu di atas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum);
    2. akta di bawah tangan yang didaftar (waarmerken) oleh notaris./ pejabat yang berwenang;
    3. akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris/Pejabat yang berwenang.
    Pasal 15 ayat (2) huruf a dan b UUJN, istilah uang digunakan untuk akta di bawah tangan yang dilegalisasi adalah akta di bawah tangan yang disahkan,sementara itu, istilah akata di bawah tangan yang didaftar (warmerken) adalah dibukukan.

    Akta di bawah tangan yang disahkan merupakan akta yang haris ditandatangani dan disahkan di depan notaris/pejabat yang berwenang , makna dilakukan pengesahaan terhadap akta di bawah tangan adalah :
    1. notaris menjamin bahwa benar orang yang trecantum namanya dalam kontrak adalah orang yang menandatangani kontrak;
    2. notaris menjamin bahwa tanggal tanda tanda tersebut dilakukan pada tanggal disebutkan dalam kontrak
    Akta di bawah tangan yang dibukukan (gewrmeken) merupakan akta yang telah ditandatangani pada hari dan tanggal yangbdisebut dalam akta oleh para pihak dan tandantangan tersebut bukan di depan notaris/pejabat yang berwenang.

    Maka akta di bawah tangan yang dibukukan adalah :
    1. bahwa yang dijamin oleh notaris adalah bahwa akta tersebut memang benar telah ada pada hari; dan
    2. tanggal dilakukan pendaftaran/pembukuan oleh notaris.
    2) Akta autentik.

    Akta autentik dibagi menjadi 2 jenis adalah :
    1. akta autentik yang dibuat oleh pejabat; dan
    2. akta autentik yang dibuat oleh para pihak.
    Akta Autentik dibuat oleh pejabat merupakan akta yang telah dibuat oleh pajabat (dalam jabatannya), atas segala apa yang dilihat, didengar dan disaksikan. Akta pejabat tidak termasuk dalam pengertian kontrak karena akta ini merupakan pernyataan sepihak dari pejabat.

    Akta autentik yang dibuat para pihak merupakan akta autentik yang dibuat para pihak dan dinyatakan di depan pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwenang untuk itu, adalah notaris, pejabat PPAT, dan lainnya.

    Manfaat Akta Autentik

    Manfaat akta autentik, bahasa inggris disebut dengan the benefitsa if deed authentic, bahasa belanda disebut dengan wet uitkeringen authentiek berkaitan dengan kegunaan atau keuntungan dari akta autentik, meliputi :
    1. menentukan secara jelas hak dan kewajiban;
    2. menjamin kepastian hukum;
    3. terhindar dari terjadinya terpenuh; 
    4. alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh ; dan
    5. pada hakikatnya memuat kebenaran formla sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris.
    Ada manfaat akta notarill atau akta autentik, yang meliputi :
    1. bagi para pihak yang membaut perjanjian secara akta notariil ialah mendapatkan kepastian hukum yang pasti dari apa yang dituliskan dalam akta notariil tersebut;
    2. memberikan rasa aman bagi para pihak yang membuat perjanjian karena apabila salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut dengan berdasarkan akta notariil tersebut; dan
    3. dalam hal pembuktian, akta notariil mempunyai pembuktian yang sempurna. kesempurnaan akta notariil sebagai alat bukti, maka harus dilihat apa adanya tidak perlu atau dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut.
    Jadi ada 3 manfaat akta, yaitu :
    1. kepastian hukum;
    2. rasa aman bagi para pihak; dan
    3. sebagai alat bukti.
    Syarat-syarat Akta Autentik

    Secara yuridis, syarat akta autentik telah ditentukan dalam :
    1. KUH Perdata; dan
    2. Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN)
    Pasal 1868 KUH Perdata, ditentukan tiga syarat sesuatu akta disebut akta autentik, yang meliputi :
    1. akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (tren overstaan) seorang pejabat umum;
    2. akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
    3. pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
    Kekuatan Pembuktian Akta Autentik
    1. Kekuatan Pembuktian Lahir. Pasal 1875 KUH Perdata, Akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sebagai akta autentik. Kemampuan ini tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan. karena akta yang buat di bawah tangan baru berlaku sah apabila semua pihak yang menanda yang tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangan itu atau apabila denga cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Apabila suatu akta kelihatan sebagai akta autentik, artinya dari kata-katanya yang berasal dari seorang pejabat umum (notaris) maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta autentik.
    2. Kekuatan Pembuktian Formal. Dalam arti formal terjamin : a) kebenaran tanggal akta itu, b) kebenaran yang terdapat dalam akta itu c) kebenaran identitas dari orang-orang yang hadir d) kebenaran tempat di mana akta dibuat.
    3. Kekuatan Pembuktian Materill.  Isi dari akta sebagai yang benar terhadap setiap orang. Kekuatan pembuktian inilah dalam Pasal 1870, Pasal 1871 dan Pasal 1875 KUH Perdata. Isi keterangan yang termuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Apabila akta itu dipergunakan di muka pengadilan, maka sudah dianggap cukup bagi hakim tanpa harus meminta alat bukti lainnya lagi karena akta itu dibuat secara tertulis, lengkap para pihaknya, objeknya jelas, serta tanggal dibuatnya akta.
    sumber :

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka : Jakarta.

    Hikmahanto Junawa. Tanpa Tahun. Perancangan Kontrak Modul I sampai dengan VI. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (IBLAM) : Jakarta.

    Salim HS, dkk. 2007. Perancangan Kontrak dan Memorandum Of  Understanding. Sinar Grafika : Jakarta.

    Habib Adjie. 2008. Sanksi Perdata dan Administarif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik. PT. Refika Aditama : Bandung.

    Salim HS. 2016. Teknik Pembuatan Akta Satu : Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta. Rajawali Press : Jakarta.

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

    Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

    Selasa, Februari 12, 2019

    Apa yang di syaratkan untuk sahnya suatu perjanjian ?

    Pasal 1320 KUHPerdata sahnya perjanjian mewajibkan 4 syarat, antara lain :

    1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

    sepakat juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan. Menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, misal : si penjual mengingini sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini sesuatu barang dari si penjual.

    2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

    Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya ialah cakap menurut hukum.

    Pasal 1330 KUHPerdata, menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :

    1. Orang-orang yang belum dewasa;
    2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
    3. Orang perumpuan dalam hal-hal yang ditetapkan Undang-Undang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
    Sudut rasa keadilan, seorang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab yang dipikulnya dengan perbuatan. Sudut ketertiban hukum, seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempetaruhkan kekayaanya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.


    Orang yang tidak sehat pikirnanya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Berada di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukanya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Jika seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya maka seseorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

    Pasal 108 KUHPerdata menyebutkan, seorang perempuan yang bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya.

    Ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami pada KUHPerdata, ada hubungan dengan sistem yang dianut dalam Hukum Perdata Barat (negeri Belanda) yang menyerahkan kepimpinan dalam keluarga itu kepada sang suami. Kekuasaaan suami sebagai pimpinan keluarga, dinamakan maritale macht  (berasal daro perkataan Perancis mari yang berarti suami). Oleh karena itu ketentuan tentang ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami itu di negeri Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman.

    Praktek notaris sekarang sudah dimulai mengizinkan seorang istri, yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat membaut suatu perjanjian dihadapannya, tanpa bantuan suaminya. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) no. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia ternyata bahwa Mahakamah Agung menganggap pasal-pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.

    3. Mengenai suatu hal tertentu.

    Bahwa perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjiakan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh Undang-Undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

    4. Suatu sebab yang halal.

    Sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa latin causa) dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian Bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-Undang dengan sebab yang halal itu. Sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh Undang-Undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan seorang. Perhatian Hukum atau Undang-Undang  hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. 

    Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat-syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.  Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan. Jadi perjanjian suatu itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable (bahasa inggris) atau vernietigbaar (bahasa Belanda)

    Syarat 3 dan 4 dinamakan syarat obyektif, jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum, artinya semua tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan Hakim. Dalam Bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.

    sumber :

    Subekti. 2005. Hukum Perjanjian. Intermasa : Jakarta.

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

    Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) no. 3/1963, tanggal 4 Agustus 1963

    Minggu, Februari 10, 2019

    Bentuk-Bentuk Perikatan dalam Hukum Perdata

    Bahwa apabila masing-masing pihak hanya satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana yang dinamakan perikatan murni. Hukum Perdata juga mengenal berbagai macam perikatan, bentuknya sebagai berikut :


    1) Perikatan Bersyarat.

    Suatu perikatan adalah bersyarat, apabila digantungkan pada sesuatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lainnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.

    Perikatan ini dinamakan perikatan dengan suatu syarat tangguh. Tapi jika suatu perikatan yang sudah lahir, justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi, maka dinamakan Perikatan dengan suatu syarat batal.

    Hukum perjanjian, pada dasarnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian (Pasal 1265 KUH Perdata).

    2) Perikatan dengan Ketetapan waktu.

    Suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan. Apabila yang harus pada suatu waktu yang ditentukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba, tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang, tak dapat diminta kembali.

    3) Perikatan mana suka (alternatif).

    Perikatan ini si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya. Hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini secara tegas diberikan kepada si berpiutang.


    4) Perikatan tanggung-menanggung.

    Perikatan ini, salah satu pihak terdapat beberapa orang, terdapat pihak debitur, maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang. Sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur, membebaskan debitur-debitur lainnya, begitu pula pembayaran yang dilakukan kepda salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang lainnya.

    Hukum perjanjian mengatakan bahwa tiada perikatan di anggap tanggung-menanggung, kecuali hal itu dinyatakan (diperjanjikan) secara tegas ataupun ditetapkan oleh Undang-Undang.Hukum Dagang, setiap pengaksep surat-wesel harus menanggung akseptasi wesel dan pembayaran wesel tersebut.

    Pasal 18 KUHD, maka dalam perseroan firma, tiap-tiap pesero bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk selamanya atas segala perikatan firma.

    Pasal 1789 KUHPerdata, jika beberapa orang bersama-sama menerima suatu barang secara peminjam, maka mereka masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman.

    Pasal 1811 KUHPerdata, Jika seorang juru kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili suatu urusan bersama, maka masing-masing mereka bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap juru kuasa tersebut yang menyangkut segala akibat dari pemberian kuasa itu.

    Pasal 1836 KUHPerdata, Perjanjian penanggungan (borgtocht), maka jiak beberapa orang telah mengikatkan dirinya sebagai penanggung untuk seorang debitur yang sama, mereka itu masing-masing terikat untuk seluruh utang.

    5) Perikatan dapat dibagi dan tak dapat dibagi.

    Suatu perikatan, dapat atau tidak dapat dibagi adalah bersoal tentang prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakekat prestasi itu.

    Pasal 1390 KUHPerdata, tiada seorang debiturpun dapat memaksakan krediturnya menerima pembayaran utangnya sebagian meskipun utang itu dapat dibagi-bagi

    Akibat hukum dari dapat atau tidak dapat dibaginya suatu perikatan adalah :
    • Dalam hal perikatan tidak dapat dibagi, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasinya tidak dapat dibagi,
    • sedangkan masing-masing debitur, diwajibkan memenuhi prestasi tersebut seluruhnya.
    • satu lain hal, sudah barang tentu dengan pengertian, bahwa pemenuhan perikatan tidak dapat dituntut lebih dari satu kali,
    • dalam hal suatu perikatan dapat dibagi, tiap-tiap kreditur hanyalah berhak menuntut suatu bagian menurut imbangan dari prestasi tersebut, sedangkan masing-masing debitur juga hanya diwajibkan memenuhi bagiannya.
    6) Perikatan dengan acaman hukuman.

    Perikatan ini adalah suatu perikatan di mana ditentukan bahwa si berutang, untuk menjamin pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak terpenuhi. Sebagai gantinya penggantian kerugian yang diderita oleh berpiutang karena tidak terpenuhinya atau dilanggarnya perjanjian, maksudnya :
    • untuk mendorong atau menajdi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya;
    • untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya kerugian yang dideritanya, sebab besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si berpiutang.
    Perikatan ini harus dibedakan dengan periaktan mana suka, di mana si berutang boleh memilih antara beberapa macam prestasi. Perikatan ini hanya ada satu prestasi yang hasrus dilakukan oleh si berutang. Ia lalai melakukan prestasi tersebut, barulah ia harus memenuhi apa yang telah ditetapkan sebagai hukuman.

    Pasal 1309 KUHPerdata, hakim diberikan wewenang untuk mengurangi atau meringankan hukuman itu, apabila perjanjiannya telah sebagian dipenuhi. Asal debitur sudah mulai mengerjakan kewajibanya, hakim leluasa untuk meringankan hukuman, apabila itu dianggapnya terlampau berat.

    Pasal 1338 ayat (3), yang mengharuskan segala perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik, maka dalam pelaksanaan perjanjian, pasal ini bertujuan untuk memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, sehingga tidak terjadi pelanggaran kepatutan atau keadilan.

    sumber :

    Subekti. 2005. Hukum Perjanjian. Intermasa : Jakarta

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

    Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

    Sabtu, Februari 09, 2019

    Perseroan Sebagai Badan Hukum



    Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), berbunyi : Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasar perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Dan harus memenuhi syarat-syarat berikut :

    1) Persekutuan Modal.

    Perseroan sebagai badan hukum memiliki modal dasar yang disebut juga authorized capital, yakni jumlah modal yang disebutkan atau dinyatakan dalam Akta Pendirian atau AD Perseroan.  Modal dasar ini terdiri dari dalam saham atau sero (aandelen, share, stock)
    Besar modal dasar Perseroan menurut Pasal 31 UU PT, terdiri atas seluruh nilai nominal saham.  Pasal 32 angka (1), modal dasar Perseroan paling sedikit Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

    2) Didirikan berdasar Perjanjian.

    Pasal 1 angka 1 UU PT menegaskan, bahwa Perseroan sebagai badan hukum, didirikan berdasar perjanjian.
    Pasal 27 angka 1 UU PT menyatakan, supaya perjanjian untuk mendirikan perseroan sah menurut Undang-Undang pendirinya paling sedikit 2 orang atau lebih, dan bahwa prinsip yang berlaku berdasar Undang-Undang ini, perseroan sebagai badan hukum didirikan berdasar perjanjian, oleh karena itu mempunyai lebih dari 1 orang pemegang saham, maksudnya :
    • orang  perorangan (naturlijke persoon, natural person) baik warga negara maupun orang asing,
    • badan hukum indonesia atau badan hukum asing.
    Pasal 7 angka (1) UU PT maupun penjelasan pasal ini, sesuai dengan yang ditentukan Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.


    Pasal 1320 KUH Perdata, agar perjanjian pendirian Perseroan itu sah, harus memenuhi syarat adanya kesepakatan (overeenkomst, agreement), kecakapan (bevoegdheid, competence), untuk membuat suatu perikatan, mengenai suatu hal tertentu (bepalde onderwrp, fixed subject matter) dan suatu sebab yang halal (geoorloofd oorzaak, allowed cause).

    Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian pendirian perseroan itu, mengikat sebagai Undang-Undang kepada mereka yang membuatnya. 

    3) Melakukan kegiatan usaha.

    Pasal 2 UU PT, suatu perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha. 
    Pasal 18 UU PT ditegaskan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha itu, harus dicantumkan dalam Anggaran Dasar (AD) Perseoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam rangka mencapai maksud dan tujuan :
    • kegiatan usaha harus dirinci secara jelas dalam AD,
    • rincian tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang.
    4) Lahirnya Perseroan melalui proses hukum dalam bentuk pengesahan pemerintah.

    kelahiran Perseroan sebagai badan hukum (rechtspersoon, legal entity), karena dicipta atau diwujudkan melalui proses hukum (created by legal process) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Perseroan disebut badan hukum yang berwujud artifisial (kumstmatig, artificial) yang dicipta negara melalui proses hukum :
    • untuk proses kelahirannya, harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan peraturan perundang-undangan,
    • apabila persyaratan tidak terpenuhi, kepada perseroan yang bersankutan tidak diberikan keputusan pengesahan untuk status sebagai badan hukum oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
    Pasal 7 angka (2) UU PT, berbunyi : Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahaan badan hukum perseroan.

    sumber :

    Harahap, M. Yahya. 2016. Hukum Perseroan Terbatas. Sinar Grafika : Jakarta.

    Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

    Jumat, Februari 08, 2019

    Hubungan antara Perikatan dan Perjanjian

    Perikatan adalah perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Misalnya : pihak yang menerima atau yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut adalah hubungan hukum yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau Undang-Undang. Jika terjadi tuntutan, si berpiutang dapat menuntut di depan hakim.

    Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Hal yang menimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Bentuknya, perjanjian adalah suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

    Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya dari sumber-sumber lain. Perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Beda dengan Kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

    Perjanjian adalah sumber terpenting dalam melahirkan perikatan. Perikatan itu banyak diterbitkan oleh perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber lain itu adalah Undang-Undang. Jadi, ada perikatan yang lahir perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari Undang-Undang.

    Pasal 625 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perikatan yang lahir dari Undang-Undang semata-mata atau dari undang-undang saja.


    Pasal 1354 KUH Perdata, menyatakan bahwa antara dua orang yang melakukan suatu perbuatan yang halal oleh undang-undang ditetapkan beberapa hak dan keajiban yang harus mereka indahkan seperti hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.

    Pasal 1359 KUH Perdata, menyatakan bahwa orang yang membayar berhak menuntut kembali, sedangkan orang yang menerima pembayaran berkewajiban mengembalikan pembayaran itu.

    Bahwa perjanjian itu adalah sumber perikatan. Penerapannya, perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa.

    Perikatan yang lahir dari perjanjian, merupakan kendak dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Jika dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka berlaku antara mereka suatu perikatan hukum, telah terikat oleh janji yang mereka berikan.

    sumber :

    Subekti. 2005. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa : Jakarta.

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)


    Jumat, Februari 01, 2019

    Pengetahuan Dasar Perancangan Kontrak

    Istilah dan Pengertian.


    Istilah perancangan kontrak berasal dari bahas inggris, yaitu contract draffting, bahasa indonesia terdapat tiga istilah yakni rancangan, merancang, dan perancangan.

    • rancangan adalah segala sesuatu yang sudah direncanakan.
    • merancang adalah mengatur segala sesuatu atau merencanakan.
    • perancangan adalah proses, cara, atau perbuatan merancang.
    • kontrak adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, yakni hak dan kewajiban.
    Perancangan Kontrak merupakan proses atau cara untuk merancang kontrak yang berisikan cara mengatur dan merencanakan sktruktur, anatomi, dan substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
    • struktur kontrak adalah susunan dari kontrak yang akan dibuat atau dirancang oleh para pihak.
    • anatomi kontrak adalah berkaitan dengan letak dan hubungan bagian-bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
    • substansi kontrak adalah isi yang dituangkan dalam kontrak yang akan dirancang oleh para pihak, ada yang dinegosiasi oleh para pihak dan ada yang telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, yang lazim disebut dengan kontrak baku (standard contract).

    Asas-asas Hukum dalam Perancangan Kontrak.


    Dalam Buku III KUH Perdata dikenal dengan lima macam asas hukum, yakni :
    1. Asas Konsensualisme;
    2. Asas kebebasan berkontrak;
    3. Asas Pact sunt servanda (asas kepastian hukum);
    4. Asas itikad baik;
    5. Asas kepribadian.
    Asas yang erat kaitan dengan perancangan kontrak asas kebebasan berkontrak dan asas  Pact sunt servanda (asas kepastian hukum), berikut :
    1. Asas kebebasan berkontrak, dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, berbunyi : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Maksud asas ini adalah 1. membuat atau tidak membuat perjanjian, 2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun, 3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, dan 4. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
    2. Asas  Pact sunt servanda , disebut juga asas kepastian hukum, yang berhubungan denga akibat perjanjian. Asas ini menggaris bawahi pihak ketiga atau hakim harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, tidak boleh ada intervensi dari pihak mana pun, juga dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, berbunyi : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

    Sumber Hukum Perancangan Kontrak. 


    1. Buku III dan Buku IV KUH Perdata.
        
    Pasal 1338 ayat (1), berbunyi : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. selain ini ada sumber hukum yang lain dalam KUH Perdata antara lain :
    • Perikatan pada umumya (Pasal 1233 s.d Pasal 13121 KUH Perdata);
    • Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313 s.d Pasal 1351 KUH Perdata);
    • Hapusnya Perikatan (Pasal 1381 s.d Pasal 1481 KUH Perdata);
    • Jual Beli (Pasal 1381 s.d Pasal 1456 KUH Perdata);
    • Tukar-menukar (Pasal 1541 s.d Pasal 1546 KUH Perdata);
    • Sewa-menyewa (Pasal 1548 s.d Pasal 1600 KUH Perdata);
    • Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601 s.d Pasal 1617 KUH Perdata);
    • Persekutuan (Pasal 1618 s.d Pasal 1652 KUH Perdata);
    • Hibah (Pasal 1666 s.d Pasal 1693 KUH Perdata);
    • Penitipan barang (Pasal 1694 s.d Pasal 1739 KUH Perdata);
    • Pinjam pakai (Pasal 1740 s.d Pasal 1753 KUH Perdata);
    • Pinjam meminjam (Pasal 1754 s.d 1769 KUH Perdata);
    • Pemberian Kuasa (Pasal 1792 s.d 1819 KUH Perdata);
    • Penanggung utang (Pasal 1820 s.d Pasal 1850 KUH Perdata);
    • Perdamaian (Pasal 1820 s.d Pasal 1850 KUH Perdata).
    Buku IV Perdata tentang pembuktian dan daluarsa, yaitu Pasal 1865 s.d Pasal 1894 KUH Perdata, yang merupakan kaitan dengan pembuktian dengan tulisan.

    2. Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

    Pada Pasal 5 UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia, mengatur tentang pembebanan jaminan fidusia, pembebanan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris.

    Pasal 6 UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia, memuat tentang struktuk akta jaminan fidusia, antara lain :
    • identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
    • data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
    • uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
    • nilai penjaminan; dan 
    • nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
    3. Undang-undang nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

    Pasal 38, berkaitan dengan perancangan kontrak yang memuat struktur akta notaris, terdiri dari : 
    • awal akta atau kepala akta;
    • badan akta; dan
    • akhir atau penutup akta.

    sumber :

    Salim HS, dkk. 2008. Perancangan Kontrak dan Memorandum Of Understanding. Sinar Grafika : Jakarta.

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

    Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia).

    Undang-Undang nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).

    Kamis, Januari 31, 2019

    Menyelisik awal tentang "KUASA''

    Kuasa, tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam Belas, Buku III KUH Perdata, dan aturan khusus diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG


    Pengertian Kuasa secara Umum

    Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi : Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Bertitik tolak dengan pasal tersebut, terdapat dua pihak, yang terdiri dari :

    • pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate);
    • penerima kuasa atau disebut denga kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
    Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmact, full power), jika :
    • pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa;
    • penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
    • pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.
    Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif (bersifat memerintah ). Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang.


    Sifat Perjanjian Kuasa

    a. Penerima Kuasa Langsung Berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa
    • memberi hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa kepada terhadap pihak ketiga;
    • tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
    • ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal  atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
    • akibat hukum dari hubungan tersebut, segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagi pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak materiil).
    b. Pemberian Kuasa Bersifat Konsensual (kesepakatan)
    • hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa;
    • hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat sebagai persetujuan  di antara mereka (kedua belah pihak);
    • pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
    Pasal 1792 maupun Pasal 1793 KUH Perdata menyatakan, pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk otentik atau dibawah tangan maupun dengan lisan.

    Pasal 1793 ayat (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi secara diam-diam, dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam itu, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus. Kuasa Khusus harus disepakati secara tegas dan harus dituangkan dalam bentuk akta atau surat kuasa khusus.

    c. Berkarakter Garansi-Kontrak
    Menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas :
    • Kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
    • apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas garansi-kontrak yang digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.

    Berakhirnya Kuasa

    Pasal 1813 KUH Perdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

    Pemberi Kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata.

    1. Pemberi Kuasa menarik kembali secara sepihak. Pasal 1814 KUH Perdata : 
    • pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa;
    • pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk : 1). mencabut secara tegas dengan tertulis, atau 2). meminta kembali surat kuasa, dari pemberi kuasa.
    • pencabutan secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata. caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada kuasa yang baru, ditarik kembali secara diam-diam.
    2. Salah satu pihak meninggal

    Pasal 1813 KUH Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. Hubungan Hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak diteruskan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. 

    3. Penerima Kuasa melepas Kuasa

    Pasal 1817 KUH Perdata, menyatakan memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melapaskan (op zegging) kuasa yang diterimanya, dengan syarat :
    • harus memberitahu kehendak itu kepada pemberi kuasa;
    • pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.

    sumber :

    M. Yahya Harahap. 2009. Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika : Jakarta.

    Putusan MA No. 331 K/Sip/1973, tgl 4-12-1975, Rangkuman Yurisprudensi (RY) MA Indonesia, 11, Hukum Perdata dan Acara Perdata. 1997.

    Putusan MA No. 731 K/Sip/1975, tgl 16-12-1976.

    Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

    Postingan terakhir

    PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

    google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...