Translate

Tampilkan postingan dengan label Hukum Perjanjian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Perjanjian. Tampilkan semua postingan

Rabu, Juli 08, 2020

Asas-asas dalam Hukum Perjanjian

Asas-asas dalam Hukum Perjanjian yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan antara lain :
1.    Asas konsensualisme
Asas konsensualisme memberikan batasan bahwa suatu perjanjian terjadi sejak tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak, dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan membuat akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian dapat dibuat secara lisan atau dapat pula dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti, kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang harus dibuat secara tertulis sebagai formalitas yang harus dipenuhisebagai perjanjian formal, misalnya perjanjian perdamaian, perjanjian penghibahan, dan perjanjian pertanggungan. Asas konsensualisme disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata.

2.    Asas kepercayaan
Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel), yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa seseoarang yang mengadakan perjanjian dengan pihaklain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memegang janjinya atau melaksanakan prestasinya masing-masing.

3.    Asas kekuatan mengikat
Asas kekuatan mengikat mengatur bahwa para pihak pada suatu perjanjian tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan dalam perjanjian, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatutan, serta moral.

4.    Asas persamaan hukum
Asas persamaan hukum menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan yang menyangkut perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan dan jabatan.

5.    Asas keseimbangan
Asas ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hukum. Kreditur atau pelaku usaha mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itudengan itikad baik. Di sini terlihat bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur menjadi seimbang.

6.    Asas kepastian hukum
Perjanjian merupakan suatu figur hukum sehingga harus mengandung kepastian hukum. Asas kepastian hukum disebut juga asas pacta sunt servanda. Asas pacta sunt servanda merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan daya mengikat suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat bagi mereka yang membuatnya seperti Undang-Undang. Demikian, maka pihak ketiga tidak mendapatkan keuntungan karena perbuatan hukum para pihak, kecuali apabila perjanjian tersebut memang ditujukan untuk kepentingan pihak ketiga. Maksud dari asas pacta sunt servanda ini dalam suatu perjanjian tidak lain adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian, karena dengan asas ini maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.

7.    Asas moral
Asas moral terlihat pada perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Asas moral terlihat pula dari zaakwarneming, dimana seseorang yang melakukan perbuatan suka rela (moral) mempunyai kewajiban untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1339 KUHPerdata.

8.     Asas kepatutan
Asas kepatutan berkaitan dengan isi perjanjian, dimana perjanjian tersebut juga mengikat untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang. Asas kepatutan dapat disimpulkan dari Pasal 1339 KUHPerdata.

9.    Asas kebiasaan
Asas kebiasaan menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan secara diam-diam selamanya dianggap diperjanjikan. Asas ini tersimpul dari Pasal 1339 juncto 1347 KUHPerdata. 


Mariam Darus Badrulzaman. 2013. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Rabu, Juli 01, 2020

HUKUM PERJANJIAN DILIHAT DARI KACAMATA HUKUM PRIVAT

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian 
perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan,
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum 
yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Syarat sahnya Perjanjian agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW 
yaitu :

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang 
tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

2. cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang 
membuat suatu perjanjian.Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :

a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).

3. suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan 
berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.

4. suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempatmengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau 
tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

* Tulisan dari Lista Kuspriatni

Selasa, Juli 02, 2019

Sekilas tentang Perjanjian Tukar-Menukar

google.com/foto
Tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain. (vide Pasal 1541 BW). Perjanjian tukar menukar adalah suatu perjanjian konsensual dalam arti bahwa ia sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang barang yang menjadi obyek dari perjanjiannya.

Segala apa yang dapat dijual dapat pula menjadi obyek perjanjian tukar-menukar. Dalam melakukan perjanjian tukar-menukar, masing-masing pihak harus pemilik dari barang yang dia janjikan untuk serahkan dalam tukar menukar itu. Adapun syarat bahwa masing-masing harus pemilik itu, baru berlaku pada saat pihak yang bersangkutan menyerahkan barangnya atau tepatnya menyerahkan hak milik atas barangnya. Juga mengenai barang bergerak disini berlaku ketentuan pasal 1977 BW.

Begitu pula kewajiban untuk menanggung akan menikmati tenteram dan terhadap cacad-cacad tersembunyi berlaku bagi seorang yang telah memberikan barangnya dalam tukar-menukar. Adanya kealpaan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut merupakan wanprestasi yang merupakan alasan untuk menuntut ganti-rugi atau pembatalan perjanjian. Pasal 1546 BW berbunyi : untuk selanjutnya aturan-aturan tentang perjanjian jual beli berlaku terhadap perjanjian tukar-menukar.

Bagaimana risiko dalam perjanjian tukar-menukar? Pasal 1545 berbunyi : Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar.

sumber :

Subekti. 2014. Aneka Perjanjian.Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata/ BW (Burgelijk Wetboek

Selasa, Februari 12, 2019

Apa yang di syaratkan untuk sahnya suatu perjanjian ?

Pasal 1320 KUHPerdata sahnya perjanjian mewajibkan 4 syarat, antara lain :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

sepakat juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan. Menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, misal : si penjual mengingini sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini sesuatu barang dari si penjual.

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya ialah cakap menurut hukum.

Pasal 1330 KUHPerdata, menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :

  1. Orang-orang yang belum dewasa;
  2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
  3. Orang perumpuan dalam hal-hal yang ditetapkan Undang-Undang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Sudut rasa keadilan, seorang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab yang dipikulnya dengan perbuatan. Sudut ketertiban hukum, seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempetaruhkan kekayaanya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.


Orang yang tidak sehat pikirnanya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Berada di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukanya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Jika seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya maka seseorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

Pasal 108 KUHPerdata menyebutkan, seorang perempuan yang bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya.

Ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami pada KUHPerdata, ada hubungan dengan sistem yang dianut dalam Hukum Perdata Barat (negeri Belanda) yang menyerahkan kepimpinan dalam keluarga itu kepada sang suami. Kekuasaaan suami sebagai pimpinan keluarga, dinamakan maritale macht  (berasal daro perkataan Perancis mari yang berarti suami). Oleh karena itu ketentuan tentang ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami itu di negeri Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman.

Praktek notaris sekarang sudah dimulai mengizinkan seorang istri, yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat membaut suatu perjanjian dihadapannya, tanpa bantuan suaminya. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) no. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia ternyata bahwa Mahakamah Agung menganggap pasal-pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.

3. Mengenai suatu hal tertentu.

Bahwa perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjiakan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh Undang-Undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

4. Suatu sebab yang halal.

Sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa latin causa) dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian Bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-Undang dengan sebab yang halal itu. Sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh Undang-Undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan seorang. Perhatian Hukum atau Undang-Undang  hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. 

Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat-syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.  Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan. Jadi perjanjian suatu itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable (bahasa inggris) atau vernietigbaar (bahasa Belanda)

Syarat 3 dan 4 dinamakan syarat obyektif, jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum, artinya semua tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan Hakim. Dalam Bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.

sumber :

Subekti. 2005. Hukum Perjanjian. Intermasa : Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) no. 3/1963, tanggal 4 Agustus 1963

Minggu, Februari 10, 2019

Bentuk-Bentuk Perikatan dalam Hukum Perdata

Bahwa apabila masing-masing pihak hanya satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana yang dinamakan perikatan murni. Hukum Perdata juga mengenal berbagai macam perikatan, bentuknya sebagai berikut :


1) Perikatan Bersyarat.

Suatu perikatan adalah bersyarat, apabila digantungkan pada sesuatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lainnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.

Perikatan ini dinamakan perikatan dengan suatu syarat tangguh. Tapi jika suatu perikatan yang sudah lahir, justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi, maka dinamakan Perikatan dengan suatu syarat batal.

Hukum perjanjian, pada dasarnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian (Pasal 1265 KUH Perdata).

2) Perikatan dengan Ketetapan waktu.

Suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan. Apabila yang harus pada suatu waktu yang ditentukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba, tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang, tak dapat diminta kembali.

3) Perikatan mana suka (alternatif).

Perikatan ini si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya. Hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini secara tegas diberikan kepada si berpiutang.


4) Perikatan tanggung-menanggung.

Perikatan ini, salah satu pihak terdapat beberapa orang, terdapat pihak debitur, maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang. Sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur, membebaskan debitur-debitur lainnya, begitu pula pembayaran yang dilakukan kepda salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang lainnya.

Hukum perjanjian mengatakan bahwa tiada perikatan di anggap tanggung-menanggung, kecuali hal itu dinyatakan (diperjanjikan) secara tegas ataupun ditetapkan oleh Undang-Undang.Hukum Dagang, setiap pengaksep surat-wesel harus menanggung akseptasi wesel dan pembayaran wesel tersebut.

Pasal 18 KUHD, maka dalam perseroan firma, tiap-tiap pesero bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk selamanya atas segala perikatan firma.

Pasal 1789 KUHPerdata, jika beberapa orang bersama-sama menerima suatu barang secara peminjam, maka mereka masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman.

Pasal 1811 KUHPerdata, Jika seorang juru kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili suatu urusan bersama, maka masing-masing mereka bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap juru kuasa tersebut yang menyangkut segala akibat dari pemberian kuasa itu.

Pasal 1836 KUHPerdata, Perjanjian penanggungan (borgtocht), maka jiak beberapa orang telah mengikatkan dirinya sebagai penanggung untuk seorang debitur yang sama, mereka itu masing-masing terikat untuk seluruh utang.

5) Perikatan dapat dibagi dan tak dapat dibagi.

Suatu perikatan, dapat atau tidak dapat dibagi adalah bersoal tentang prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakekat prestasi itu.

Pasal 1390 KUHPerdata, tiada seorang debiturpun dapat memaksakan krediturnya menerima pembayaran utangnya sebagian meskipun utang itu dapat dibagi-bagi

Akibat hukum dari dapat atau tidak dapat dibaginya suatu perikatan adalah :
  • Dalam hal perikatan tidak dapat dibagi, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasinya tidak dapat dibagi,
  • sedangkan masing-masing debitur, diwajibkan memenuhi prestasi tersebut seluruhnya.
  • satu lain hal, sudah barang tentu dengan pengertian, bahwa pemenuhan perikatan tidak dapat dituntut lebih dari satu kali,
  • dalam hal suatu perikatan dapat dibagi, tiap-tiap kreditur hanyalah berhak menuntut suatu bagian menurut imbangan dari prestasi tersebut, sedangkan masing-masing debitur juga hanya diwajibkan memenuhi bagiannya.
6) Perikatan dengan acaman hukuman.

Perikatan ini adalah suatu perikatan di mana ditentukan bahwa si berutang, untuk menjamin pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak terpenuhi. Sebagai gantinya penggantian kerugian yang diderita oleh berpiutang karena tidak terpenuhinya atau dilanggarnya perjanjian, maksudnya :
  • untuk mendorong atau menajdi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya;
  • untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya kerugian yang dideritanya, sebab besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si berpiutang.
Perikatan ini harus dibedakan dengan periaktan mana suka, di mana si berutang boleh memilih antara beberapa macam prestasi. Perikatan ini hanya ada satu prestasi yang hasrus dilakukan oleh si berutang. Ia lalai melakukan prestasi tersebut, barulah ia harus memenuhi apa yang telah ditetapkan sebagai hukuman.

Pasal 1309 KUHPerdata, hakim diberikan wewenang untuk mengurangi atau meringankan hukuman itu, apabila perjanjiannya telah sebagian dipenuhi. Asal debitur sudah mulai mengerjakan kewajibanya, hakim leluasa untuk meringankan hukuman, apabila itu dianggapnya terlampau berat.

Pasal 1338 ayat (3), yang mengharuskan segala perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik, maka dalam pelaksanaan perjanjian, pasal ini bertujuan untuk memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, sehingga tidak terjadi pelanggaran kepatutan atau keadilan.

sumber :

Subekti. 2005. Hukum Perjanjian. Intermasa : Jakarta

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

Jumat, Februari 08, 2019

Hubungan antara Perikatan dan Perjanjian

Perikatan adalah perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Misalnya : pihak yang menerima atau yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut adalah hubungan hukum yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau Undang-Undang. Jika terjadi tuntutan, si berpiutang dapat menuntut di depan hakim.

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Hal yang menimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Bentuknya, perjanjian adalah suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya dari sumber-sumber lain. Perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Beda dengan Kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Perjanjian adalah sumber terpenting dalam melahirkan perikatan. Perikatan itu banyak diterbitkan oleh perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber lain itu adalah Undang-Undang. Jadi, ada perikatan yang lahir perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari Undang-Undang.

Pasal 625 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perikatan yang lahir dari Undang-Undang semata-mata atau dari undang-undang saja.


Pasal 1354 KUH Perdata, menyatakan bahwa antara dua orang yang melakukan suatu perbuatan yang halal oleh undang-undang ditetapkan beberapa hak dan keajiban yang harus mereka indahkan seperti hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.

Pasal 1359 KUH Perdata, menyatakan bahwa orang yang membayar berhak menuntut kembali, sedangkan orang yang menerima pembayaran berkewajiban mengembalikan pembayaran itu.

Bahwa perjanjian itu adalah sumber perikatan. Penerapannya, perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa.

Perikatan yang lahir dari perjanjian, merupakan kendak dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Jika dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka berlaku antara mereka suatu perikatan hukum, telah terikat oleh janji yang mereka berikan.

sumber :

Subekti. 2005. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa : Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)


Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...