Sekarang ini irah-irah “Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dipakai dalam :
a. Putusan/Penetapan Pengadilan.
b. SHT darKantor Pertanahan.
c. Sertifikat Jaminan Fidusia Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
d. Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal.
e. Pejabat Lelang (Kelas I dan Kelas II).
Makna secara umum untuk irah-irah tersebut bagi tiap institusi yang menerbitkannya agar produk hukum tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan lebih dari satu institusi, apakah harus seperti itu nama “Tuhan” selalu dibawa-bawa ke dalam tiap produk manusia dan bisa dipermainkan manusia ? Hal ini akan semakian jelas produk hukum tersebut, selain pengadilan, dipersoalkan atau digugat ke pengadilan, apakah ini tidak berarti “jeruk makan” jeruk”, bahkan bisa diluar nalar hukum, jika produk yang mencantumkan irah-irah tersebut dibatalkan oleh pengadilan yang dalam putusannya mencantumkan irah-irah juga. Jika terjadi pembatalan seperti itu, apakah irah-irah yang tercantum dalam putusan pengadilan lebih tinggi tingkatannya dengan irah-irah yang bukan diterbitkan oleh pengadilan.
Bahwa makna pencantuman irah-irah tersebut bagi hakim merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada Tuhan, karena putusan hakim menyangkut nasib manusia, sehingga hakim yang memutuskan untuk senantiasa bersandar kepada Tuhan. Sedangkan irah-irah yang dipergunakan selain hakim (putusan pengadilan) tidak bermakna seperti putusan pengadilan, tapi hanya untuk mempunyai kekuatan eksekutorial saja.
Jadi penggunaan irah-irah tersebut pada pada ranah yudikatif dan juga eksekutif. Dengan kerancuan seperti tersebut di atas, seharusnya sudah tidak ada lagi, institusi yang diberi kewajiban untuk menggunakan atau mencantumkan irah-irah tersebut kecuali pengadilan. Sehingga yang boleh mencantumkan atau menggunakan irah-irah tersebut dalam produk hukumnya, berupa Putusan, hanya pengadilan/penetapan saja (HBA – INC).
Tulisan dari Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum