Translate

Tampilkan postingan dengan label Hukum Agraria. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Agraria. Tampilkan semua postingan

Rabu, Oktober 02, 2019

Sekilas Tentang Pendaftaran Tanah

Objek pendaftaran tanah meliputi antara lain:
google.com/foto
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;
b. tanah hak pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. hak milik atas satuan rumah susun;
e. hak tanggungan;
f. tanah Negara.[1]

Sesuai dengan yang diatur dala Pasal 19 UUPA, antara lain:
(1)  Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan - ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)  Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a.  pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b.  pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Boedi Harsono menjelaskan lebih lanjut, bahwa kata-kata suatu rangkaian kegiatan menunjukkan kepada adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain berurutan menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat.[2]Pendaftaran Tanah bertujuan:
a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang ber-sangkutan;
b. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengada-kan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.[3]

Pendaftaran tanah memiliki manfaat bagi pemegang hak selain dari segi hukum mendapat kepastian hukum dan perlindungan hukum. Manfaat pendaftaran tanah bagi pemegang hak dapat juga sebagai berikut:
a.       Memberikan rasa aman;
b.      Dapat mengetahui dengan jelas data fisik dan data yuridisnya;
c.       Memudahkan dalam pelaksanaan peralihan hak;
d.      Harga tanah menjadi lebih tinggi;
e.       Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan, dan;
f.       Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak mudah keliru.[4]

Perihal tentang alat bukti tertulis mengenai kepemilikan tanah untuk
Melakukan pendaftaran hak baru dan pendaftaran hak-hak lama diatur berdasarkanatas sebagai berikut:
a. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yangbersangkutan dikonversi menjadi hak milik, atau;
b. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan atau;
c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang ber-sangkutan, atau;
d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, atau;
e.surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya, atau;
f. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, atau;
g. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau;
h. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau;
i. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dengan disertaialas hak yang diwakafkan, atau;
j. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau;
k. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, atau;
l. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor PelayananPajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau;
m. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun jugasebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.[5]



[1]LihatPasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
[2] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, h. 72-74
[3]Lihat Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
[4]Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenamedia, Jakarta, 2013, h. 295.
[5]Lihat Pasal 60 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Jumat, September 20, 2019

Tanah cakupan Hukum Agraria


Sumber daya alam yang penting bagi kehidupan manusia di bumi adalah tanah[1]. Sejak manusia lahir sampai meninggal dunia, tetap membutuhkan tanah. Tempat yang digunakan untuk tinggal, bercocok tanam, dan berproduksi agar menghasilkan barang dan jasa. Aset yang memiliki nilai ekonomis. Tanah juga merupakan objek hukum yang membutuhkan kepastian hukum. Jika tanah yang di kuasai oleh pemerintah mendapat gangguan dari pihak lain harus mendapatkan perlindungan hukum.
Pada prinsipnya tanah merupakan salah satu cakupan dalam hukum agraria. Hukum agraria memiliki cakupan yang luas, terutama yang mencakup segala bumi, air, tanah, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Merujuk dalam konstitusi pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan sebagai turunan-nya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
UUPA mengemban visi dan misi untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Jiwa dan semangatnya dijabarkan melalui kewenangan Negara yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.[2] Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada hakikatnya negara memiliki kewenangan secara yuridis formal terhadap tanah sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan tanah-tanah masyarakat hukum dan segala potensi sumber daya yang tersedia.[3] Kedudukan dan kewenangan tersebut didasari pada asas hak menguasai negara.[4]
Hak menguasai negara merupakan semacam wewenang pemerintahan pusat, yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintahan daerah, lembaga pemerintahan, kesemuannya dengan suatu pelimpahan wewenang yang dimuat dalam peraturan khusus yang disebut dengan hak pengelolaan.[5] Sebagaimana tujuan hak menguasai negara atas tanah terdapat dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA.[6] 
bersambung......


[1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Tanah adalah 1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali; 2. Keadaan bumi di suatu tempat; 3. Permukaan bumi yang diberi batas dan; 4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya)
[2] Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berbunyi: Hak menguasai dari Negara termaksud dalam pasal (1) pasal ini wewenang untuk: a. mengatur dan mnyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkaasa tersebut; b. menentukan dan mnegatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa dan; c. menentukan dan mngatur hubungan-hubungan hokum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
[3] Jack Reynold, Ch.Ayamiseba, Kedudukan Hak Ulayat Dalam Rangka Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung, 2004, h. 180.
[4] Farida Fitriyah, Hukum Pengadaan Tanah Transmigrasi, Setara Press, Malang, 2016, h. 4
[5] A.P Parlindungan, Landrform di Indonesia Suatu Studi Perbandingan, Alumni, Bandung, h. 96.
[6] Pasal 2 ayat (3) UUPA berbunyi: wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.

Jumat, Maret 22, 2019

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam RUU Pertanahan

Pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrariam atau yang lebih dukenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Peraturan pemerintah yang dimaksud disini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 rahun 1997 dan dialaksanakan oleh peraturana Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah

Pasal 5 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 menyatakan secara tegas bahwa instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran diseluruh wilayah Republik Indonesia adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Dalam melaksanakan pendaftaran tanah untuk kegiatan-kegiatan tertentu Kepala Badan Pertanahan Kabupaten/Kota tidak dapat melaksanakan sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan pihak-pihak lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, yaitu : dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

PPAT sebagai Mitra Kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI

Dalam proses pembahasan RUU Pertanahan, pemerintah melalui Daftar Inventaris Masalah (DIM) atau RUU Pertanahan mengusulkan pengaturan bagi PPAT dan sekaligus dapat menjadi payung hukum pengaturan Jabatan PPAT

Pemerintah mengusulkan penambahan substansi antara lain mengenai pengangkatan dan pemberhentian PPAT, tugas pokok PPAT, akta dan salinan akta serta Majelis Pengawas PPAT

Usulan DIM Pemerintah terkait PPAT
  1. Profesi mitra kerja diawasi oleh Majelis Pengawas Profesi
  2. Mengatur pengangkatan dan pemberhentian PPAT dilakukan oleh Menteri dengan pertimbangan bahwa PPAT merupakan profesi mitra kerja
  3. Tugas PPAT dengan pertimbangan untuk menjelaskan tugas dan pokok PPAT adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
  4. Mengatur pembuatan akta PPAT
  5. Mengatur pembuatan salinan Akta PPAT
  6. Penggunaan salinan akta PPAT untuk keperluan pendaftaran 
  7. Penggunaan salinan akta yang diberikan kepada para pihak
  8. Penyampaian salinan akta PPAT secara elektronik dengan pertimbangan untuk mengakomodir perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat dan pemanfaatan teknologi informasi sesuai dengan UU tentang ITE
Kedudukan Hukum PPAT

  • UUPA tidak mengatur dan bahkan sama sekali tidak menyinggung mengenai PPAT
  • UU nomor  4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU HT) disebutkan dengan jelas mengenai penamaan, status dan kedudukan PPAT yaitu Pejabat Umum
  • Ditegaskan nama, kedudukan, dan status hukum PPAT dalam UU HT, maka selanjutnya ketentuan lebih detail mengenai PPAT diatur dalam peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 jo PP 24 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Meskipun pengaturan mengenai PPAT sudah diatur di beberapa peraturan perundang-undangan sebagaimana telah disebut di atas, anamun dalam perkembangannya pengaturan pemerintah bukan dalam bentuk undang-undang, selain itu terdapat beberapa permasalahan yang cukup penting yang harus disesuaikan demi terciptanya kepastian hukum

Identifikasi Permasalahan mengenai PPAT
  1. Masih beragamnya definisi mengenai kewenangan PPAT yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu UU Hak tanggungan, yang justru menimbulkan multi interpretasi terkait dengan linkup kewenangan PPAT
  2. Terkait keberadaan PP nomor 37 tahun 1998 tentang Jabatan PPAT yang dinilai kurang tepat secara hukum dikarenakan PP ini sama sekali tidak didasarkan atas perintah undang-undang (dalam bagian konsiderannya)
  3. Perlu atau tidaknya wadah tunggal bagi para PPAT yang ditegaskan dalam Undang-undang mengingat berdasarkan data BPN RI tercatat 6000 orang PPAT yang tersebar di seluruh Indonesia.
  4. Berkaitan dengan usia untuk dapat diankat menjadi PPAT yaitu 22 tahun yang dinilai belum bisa mengemban jabatan sebagai PPAT begitu pula perlu ada penegasan mengenai persyaratan magang.
  5. Berkaitan dengan formasikerja PPAT di setiap kabupaten di seluruh Indonesia 
  6. Berkaitan dengan perluasan daerah kerja PPAT menjadi satu provinsi dalam pelaksanaannya nanti khawatirnya akan menyulitkan kerja bagi para PPAT
  7. Berkaitan dengan pemberhentian secara tidak hormat bagi PPAT tak lupo untuk dikritis, Diskursus mengenai perlu dibuat batasan yang jelas mengenai adanya pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban PPAT
sumber : Dr. Ir. Herman Kaeron, M.SI (Ketua Panitia Kerja RUU Pertanahan Komisi II DPR RI)

Sabtu, Februari 02, 2019

Arti, Sifat, Asas dan Tujuan Pendaftaran Tanah

Pendaftaran Tanah  merupakan kegiatan yang  bertujuan sebagai meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah rakyat seluruhnya, dan yang akan mewujudkan pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.


Bersifat rechtscadaster atau legalcadaster bukan fiscaalcadaster.  

  • rechtscadaster atau legalcadaster adalah pendaftaran tanah yang bersifat memberikan jaminan kepastian hukum, yang menghasilkan surat tanda bukti hak seperti sertipikat.
  • fiscaalcadaster adalah pendaftaran tanah yang bertujuan menetapakn wajib pajak atas tanah, yang menghasilkan surat tanda bukti pembayaran pajak atas tanah.
Dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menugaskan bahwa pemerintah melakukan pendaftaran tanah sesuai dengan Pasal 9 UUPA, yaitu :
  1. untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintag diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan pemerintah.
  2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. pengukurun, perpetakan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
  3. pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
  4. dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari biaya-biaya tersebut.

Peraturan yang berkaitan dengan Pendaftaran Tanah, antara lain :

  • PP no. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah;
  • PP no. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT);
  • Pepres no. 63 tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia;
  • Permen Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) no. 9 tahun 1999 tentang Tata cara pemberian dan pembatalan pemberian Hak atas tanah negara dan hak pengelolaan;
  • Perkap Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia no. 1 tahun 1996 tentang ketentuan pelaksanaan peraturan pemerintah no. 37 tahun 1998 tentang jabatan pejabat pembuat akta tanah.
Ketentuan Pokok dalam PP no. 10 tahun 1996 yang dirubah dengan PP no 24 tahun 1997, memuat :
  • Tujuan dan sistem pendaftaran tanah, yaitu pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan sistem publikasinya adalah sitem publikasi negatif yang mengandung unsur sistem publikasi positif karena menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat;
  • pendaftaran tanah juga tetap dilaksanakan melalui 2 cara, pertama : secara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan yang dilakukan atas prakarsa pemerintah, kedua : secara sporadik, pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah atas permintaan pemegang hak atau penerima hak yang bersangkutan secara individual atau massal.

Pasal 2 PP no. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, menetapkan asas dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, yaitu :

  1. asas sederhana, agar ketentuan pokok maupun prosedurnya mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama pemegang hak atas tanah.
  2. asas aman, menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengn pendaftaran tanah itu sendiri.
  3. asas terjangkau, keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebuatuahan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan.
  4. asas mutakhir, kelengakapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.
  5. asas terbuka, agar masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kab/Kota.
Pasal 3 dan Pasal 4 PP 24/ 1997 tentang Pendaftaran tanah, menetapkan tujuan pendaftaran tanah, yaitu :
  1. memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan yang diberikan sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
  2. menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang terdaftar.
  3. terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. mencapai tertib administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas bidang tanah dan satuan sumah susun wajib didaftar.
sumber :

Urip Santoso. 2016. Pejabat Pembuat Akta Tanah : Perspektif Regulasi, Wewenang, dan Sifat Akta. Kencana : Jakarta.

Arie S. Hutagalung. 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia : Jakarta.

Undang-undang dasar tahun 1945 (UUD).

Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah

Senin, Januari 21, 2019

Berbicara tentang PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) #1

google.com/foto
a. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. (Pasal 1 ayat (1) PP no. 37/1998 tentang PPAT)

b. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT 

PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran oleh perbuatan hukum itu. (Pasal 2 ayat (1) PP no. 37/1998 tentang PPAT)

Adapun Perbuatan hukum yang berkaitan dengan : (Pasal 2 ayat (2) PP no. 37/1998 tentang PPAT)

  • jual-beli;
  • tukar-menukar;
  • hibah;
  • pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
  • pembagian hak bersama;
  • pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai ataas tanah Hak Milik;
  • pemberian Hak Tanggungan;
  • pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya (Pasal 4 PP no. 37/1998 tentang PPAT)

c. Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT

PPATdiangkat dan diberhenrikan oleh Menteri (Pasal 5 ayat (1) PP no. 37/1998 tentang PPAT)

Syarat untuk diangkat PPAT adalah (Pasal 6 PP no. 37/1998 tentang PPAT)
  • berkewenangan Indonesia;
  • berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
  • berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh institusi Kepolisian setempat;
  • belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  • sehat jasmani dan rohani;
  • lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
  • lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional.
PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena : (Pasal 8 ayat (1) PP no. 37/1998 tentang PPAT)
  • meninggal dunia; atau
  • telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau
  • diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai notaris dengan tempat kedudukan di kab/kota daerah tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT;atau
  • diberhentikan oleh menteri.
PPAT yang berhenti menjabat sebagai PPAT karena diangkat dan mengangkat sumpah jabatan Notaris di Kab/Kota daerah tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf c dapat kembali menjadi PPAT dengan wilayah kerja Kab/Kota Daerah tingkat II tempat kedudukannya sebagai Notaris, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja belum penuh (Pasal 9 PP no. 37/1998 tentang PPAT)

PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena : (Pasal 10 ayat (1) PP no. 37/1998 tentang PPAT)
  • permintaan sendiri;
  • tidak lagi menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau pejabat yang lainnya;
  • melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
  • diangkat sebagi pegawai negeri sipil atau ABRI.
PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena : (Pasal 10 ayat (2) PP no. 37/1998 tentang PPAT)
  • melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
  • dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
PPAT dapat diberhentikan untuk sementara dari jabatannya sebagai PPAT karena sedang dalam pemeriksaan pangadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat. (Pasal 11 ayat (1) PP no. 37/1998 tentang PPAT)

Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...