Translate

Tampilkan postingan dengan label Hukum Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Pajak. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Juli 04, 2020

EFEKTIVITAS GIJZELING SEBAGAI UPAYA PENANGIHAN PAJAK DI INDONESIA

Perkembangan pajak di Indonesia cukup buruk karena banyak masyarakat yang tidak taat membayar pajak, karena tidak memiliki uang atau memang tidak peka terhadap pembangunan yang merata untuk kesejahteraan Bangsa Indonesia dan demi kesejahteraan masyarakat dan dirinya sendiri. Tidak hanya kalangan menengah ke bawah tetapi mayoritas orang-orang menengah ke atas yang sering kali di kejar oleh Direktorat Jenderal pajak untuk membayar pajak sesuai dengan aturan yang ada, seperti pengusaha-pengusaha ataupun pejabat pemerintah hanya ingin menikmati fasilitas pajak dan tidak pernah menyadari bahwa apakah mereka sudah benar untuk membayar pajak atau tidak.
Upaya untuk menekan hal tersebut, maka Direktorat Jenderal Pajak melakukan upaya terakhir bagi menunggak pajak dengan cara penyanderaan atau sering disebut gijzeling. Penyanderaan atau gijzeling yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak kepada wajib pajak yang menunggak dalam jumlah yang besar harus didasari dengan undang-undang yang berlaku sehingga sejalan dengan hukum yang ada. Untuk memuluskan tidakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada wajib pajak yang menunggak pajak, maka diperlukan suatu dasar hukum yang jelas untuk payung hukum dalam setiap tindakan gijzeling ini karena harus sesuai dengan tiga nilai dasar hukum yang terdiri dari kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Dasar Hukum Penyanderaan Secara terminologi,  gijzeling dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) diartikan sebagai penyanderaan, yaitu pengekangan sementara waktu kebebasan penangung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Dikenakan tindakan penyanderaan adalah penanggung pajak yang cakupannya meliputi penunggak pajak (wajib pajak) dan yang bertanggungjawab atas pembayaran pajak. Tindakan penyanderaan merupakan bagian dari serangkaian kegiatan dalam penagihan pajak. Apabila dirunut ke belakang, kegiatan penagihan dimulai dengan penerbitan surat teguran kemudian penerbitan surat paksa. Apabila dalam jangka waktu 14 hari dari penerbitan surat paksa utang pajak ditambah biaya penagihan tidak juga dibayarkan maka dapat dilakukan tindakan penyitaan yang dapat dilanjutkan dengan penyanderaan. Dua syarat utama penyanderaan adalah jumlah utang pajak minimal Rp.100.000.000,- dan penanggung pajak diragukan atau tidak beritikad baik dalam membayar utang pajak.
Selain dari Undang-Undang ini penyanderaan juga di atur pada PP No. 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Selanjutnya dikeluarkan suatu Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan HAM No .M-02.UM.09.01 Tahun 2003, No 294 / KMK.03/2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak Yang Disandera di Rumah Tahanan Negara Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Ada hal yang harus diantisipasi Ditjen Pajak ketika melakukan tindakan penyanderaan terhadap para penunggak pajak, yakni isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Isu ini dapat saja dimanfaatkan oleh pihak yang berkepentingan, yang dikhawatirkan akan menghambat laju tindakan penagihan pajak ini. Ternyata, apabila dikaji lebih lanjut, aturan-aturan atau norma-norma yang berkaitan dengan HAM telah dimasukkan dalam SKB Penyanderaan.
Prinsip terkait HAM telah diatur jelas dalam SKB tersebut, seperti penyanderaan tidak dilakukan pada saat penanggung pajak sedang beribadah, memperhatikan hak penanggung pajak pada waktu menjalankan penyanderaan, misalnya menjalankan ibadah, memperoleh pelayanan kesehatan, mendapat makanan yang layak, termasuk menerima kiriman makanan dari keluarga, memperoleh bahan bacaan dan informasi atas biaya sendiri serta wajib memberikan pelayanan kepada penanggung pajak yang sakit keras atau meninggal dunia. Ada suatu keyakinan bahwa jika tindakan penyanderaan terhadap penunggak pajak ini dilakukan secara konsisten, hal itu akan bisa efektif dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak secara cepat.
Pelaksanaan penyanderaan itu membutuhkan biaya yang besar. Ditjen Pajak berhak menahan penunggak pajak dalam waktu enam bulan dan bisa dilanjutkan enam bulan lagi apabila diperlukan. Semua biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penyanderaan itu ditanggung negara. Tentu dapat dihitung berapa besar biaya yang akan dikeluarkan negara.
Apabila kurun waktu penyanderaan sudah melewati setahun, belum ada aturan tindak lanjut terhadap penunggak pajak tersebut. Aturan yang ada hanya mengatur berakhirnya masa penyanderaan bagi penunggak pajak. Yaitu, utang pajak dan biaya penagihan telah dibayar lunas, jangka waktu surat perintah penyanderaan habis, adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan berdasar pertimbangan tertentu dari menteri keuangan atau gubernur. Artinya, penunggak pajak akan bebas secara otomatis jika jangka waktu penyanderaan habis.
Keadaan ini menjadikan suatu contoh bagi penunggak pajak untuk mendorong kesadarannya serta kepatuhan wajib pajak.7 Dengan kata lain aturan yang dibuat dalam pemungutan pajak pun tunduk kepada ketentuan hukum pajak yang tentunya berlandaskan norma-norma hukum, prinsip, dan juga asas hukum secara umum yang berlaku. Indonesia merupakan Negara hukum, jadi hukum tidak memiliki wibawa kalau tidak dipaksakan dalam impelementasinya karena setiap kalangan yang berurusan dengan namanya hukum akan mengabaikan hukum begitu saja.Dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak harus bisa lebih memupuk rasa semangat dan nasionalisme untuk membangun negara dengan memberikan fasilitas yang baik supaya wajib pajak merasa uang yang di berikan kepada negara tidak sia-sia serta bisa dinikmati secara merata.

Sumber  Tulisan :
  1. Sartjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Asitya Bakti, Bandung, hal. 19.
  2. Dewa Gede Rudy dan Putu Mahanta Pradana Putra, Penyanderaan (Gijzeling) Kepada Penunggak Pajak Yang Dilakukan Oleh Direktorat Jendral Pajak, Dosen Universitas Udayana Bali.
  3. Chandra Budi, Efektivitas Gijzeling, bekerja di Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan, Alumnus Pascasarjana IPB.

Kamis, Januari 17, 2019

Apa itu Hukum Pajak ?

1. Pengertian Hukum Pajak
google.com/foto
    
Hukum Pajak adalah semua peraturan yang memberikan wewenang/hak kepada pemerintah untuk mengambil kekayaan rakyat (seseorang/perusahaan) dan menyerahkan kembali kepada rakyat melalui kas negara dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum dan pengaturan lainnya. 

Dalam Hukum Pajak terkandung hubungan-hubungan hukum antara lain :

  1. Antara negara dan orang-orang (individu) atau;
  2. Badan-badan hukum (perusahaan) yang berkewajiban membayar pajak (disebut Wajib Pajak)
2. Pembagian Hukum Pajak
  1. Hukum Pajak Material, mengatur tentang norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus diekenakan pajak dan besarnya jumlah pajak
  2. Hukum Pajak Formal, mengatur tentang cara-cara mengimplementasikan hukum material menjadi suatu kenyataan, misalnya : penenpatan suatu hutang pajak, kewajiban para wajib sebelum adanya suatu ketetapan pajak.
3. Landasan Hukum Pemungutan Pajak
  • Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
  • Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah.
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
  • Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2007 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
  • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan  tarif Bea Materai dan Besarnya batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan  Bea Materai.
  • Peraturan Dirjen Pajak No. PER-01/PJ/2016 ketentuan mengenai tata cara penerimaan dan pengolahan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak.
  • Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.10/2016
    Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini merupakan perubahan kelima atas PMK No. 15/PMK.03/2010 tentang pemungutan pajak penghasilan (PPh)
  • Peraturan Dirjen Pajak No. PER-47/PJ/2015
    Peraturan DJP ini memuat ketentuan tentang tata cara pengenaan pajak bumi dan bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan mineral dan batubara.
  • Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2015
    Peraturan ini mengatur soal impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. 
  • Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2015
    Peraturan ini berkaitan dengan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan jasa kepelabuhanan tertentu kepada perusahaan angkutan laut yang melakukan kegiatan angkutan laut luar negeri. 
4. Timbul Hutang Pajak

Hutang adalah perikatan yang mengandung kewajiban bagi salah satu pihak baik perorangan maupun Badan sebagai subjek hukum untuk melakukan suatu prestasi, yang timbul berdasarkan peraturan perundang-undangan dan syarat bujektif dan objektif (perbuatan, keadaan atau peristiwa).
  • Ajaran Materil
  1. Diatur dalam Undang-Undang
  2. Ada peristiwa, keadaan dan perbuatan
  • Ajaran Formil
  1. Ada ketetapan dari pemungut yaitu pemerintah
  2. Pajak menjadi terutang saat ditetapkan melalui surat ketetapan

Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...