Translate

Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan

Rabu, Mei 12, 2021

PEMILU ORDE BARU

Pemilu yang berlangsung pada masa Orde Baru dilaksanakan sebanyak 7 (tujuh) kali, yaitu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Anggota DPR pada masa tersebut tidak semuanya dipilih dalam pemilu. Anggota DPR yang dipilih, sifat perwakilannya disebut sebagai perwakilan politik (political representation). Sedangkan orang-orang yang diangkat karena fungsi/jabatan atau keahlian, sifat perwakilannya disebut perwakilan fungsional (functional representation (Saragih, 1981, dalam Pakpahan, 1994:20). Salah satu perwakilan fungsional yang diangkat di DPR/MPR adalah Fraksi ABRI. Dasar dari perwakilan ini oleh Pakpahan (ibid, 162) adalah karena ABRI tidak memiliki hak pilih dalam pemilu, sehingga tidak memiliki wakil dalam DPR. Jika ABRI ikut pemilu dan ikut dalam organisasi politik, maka ABRI dapat terpecah-pecah seperti yang terjadi pada Orde Lama. Karena sudah memiliki kursi di DPR, maka ABRI harus netral terhadap PPP, Golkar, dan PDI. Pada Pemilu 1971-1982, ABRI memperoleh jatah kursi DPR sebanyak 75 kursi sedangkan Golkar non ABRI memperoleh 25 kursi. Pada Pemilu 1987-1997 jatah kursi untuk Golkar non ABRI ditiadakan namun jatah kursi untuk ABRI yang semula 75 kursi dinaikan 
menjadi 100 kursi. Sementara itu, pada pelaksanaan Pemilu 1971-1982, partai peserta pemilu dibedakan atas dasar asas dan ideologi partai. Mulai dengan Pemilu 1987, seluruh partai politik peserta pemilu berasas tunggal pancasila (Puspoyo, W., 2012).

Pada Pemilu 1971, terdapat 9 (sembilan) partai politik dan 1 (satu) organisasi masyarakat (Golkar), yang memperebutkan 351 kursi. Namun hanya 8 (delapan) peserta pemilu yang meraih kursi (Tabel 2.4 dan 2.5). Pemilu 1971 dimenangkan Golkar dengan meraih 62,80 persen suara, sehingga berhasil memperoleh 227 kursi DPR. Kemudian disusul oleh NU dengan 18,67 persen suara yang berhasil memperoleh 58 kursi.Pemilu 1977 sampai dengan Pemilu 1997 hanya dikuti oleh 2 (dua) partai, yaitu PPP dan PDI serta Golkar sebagai organisasi masyarakat. Dua partai peserta pemilu tersebut merupakan gabungan dari beberapa partai sebelumnya. PPP adalah partai gabungan dari partai-partai Islam, misalnya Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Sedangkan PDI adalah gabungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan dua partai Kristen (Liddle, 1992: 40).

Golkar selalu menjadi pemenang pemilu pada kurun waktu tersebut. Perolehan suara Golkar selalu mengalami kenaikan meskipun sempat turun pada Pemilu 1992 sebesar 5,06 persen. Golkar kehilangan 20 kursi, dari 299 kursi pada Pemilu 1987 menjadi 279 kursi pada Pemilu 1992. Namun, berkurangnya kursi Golkar tidak memengaruhi dominasi partai tersebut karena adanya tambahan kursi jatah dari ABRI sebesar 100 kursi menjadikan total kursi Golkar menjadi 382 kursi (76,40 persen). Pemilu 1997 menghasilkan persentase tertinggi untuk kemenangan Golkar. Kursi Golkar meningkat sebanyak 43 kursi, PPP meningkat 28 kursi, dan PDI merosot 
45 kursi. Dengan demikian, dominasi Golkar semakin kuat sedangkan kekuatan partai politik mengalami penurunan. Posisi kedua pada Pemilu 1977 sampai dengan 1997 ditempati oleh PPP. Suara PPP pada Pemilu 1987 mengalami 
penurunan yang signifikan sebesar 11,81 persen. Hal ini disebabkan adanya masalah intern partai, yaitu adanya ketidakpuasan NU terhadap Parmusi, sehingga para kyai NU mengeluarkan pesan kepada warganya yang menyatakan bahwa tidak lagi wajib memilih PPP dan tidak mengharamkan memilih Golkar atau PDI (Romli, 2006 dalam Rusidi, Z.N., 2011). Adanya penerapan asas tunggal Pancasila juga sebagai faktor penyebab turunnya suara PPP pada Pemilu 1987. Pada pemilu ini, untuk pertama kalinya PPP menggunakan tanda gambar Bintang setelah dua pemilu sebelumnya menggunakan tanda gambar Ka’bah. Sementara itu, PDI dalam Pemilu Orde Baru selalu memperoleh suara terendah. Eklof (2003: 18), menggambarkan PDI pada era Orde Baru sebagai partai yang tidak pernah berseberangan dengan rezim, secara konstan ditimpa konflik internal, didominasi intervensi pemerintah, serta memiliki kredibilitas rendah di masyarakat umum. Ia juga mengutip Riza Sihbudi (1987) yang menyebut PDI sebagai partai gurem, untuk menggambarkan insignifikansinya dalam politik masa itu. Persentase suara sah pemilu pada  masa Orde Baru terus menurun dan diikuti naiknya persentase suara tidak sah. Hal ini bisa dibaca sebagai ketidakpuasan terhadap proses pemilu, namun publik enggan untuk terang-terangan tidak datang ke TPS.

Tulisan dari BPS (Statistik Pemilu 2019, hlm. 13-16)

PEMILU ORDE LAMA

Pemilu 1955 adalah pemilu  pertama Indonesia, dan satu-satunya  pemilu yang pernah dilaksanakan pada masa Orde Lama. Dalam pelaksanaannya,  Pemilu 1955 dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada 29 Desember 1955 untuk  memilih anggota DPR dan pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante. DPR hasil Pemilu 1955 tidak berubah kedudukan dan kewenangannya, bersumber pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 (Efriza & Rozi, 2010:30). DPR mempunyai hak legislatif seperti hak anggaran, hakamendemen, hak inisiatif, hak bertanya, hak interpelasi, hak angket, dan hak mosi. Sedangkan, Dewan Konstituante berperan merumuskan Undang-Undang  Dasar untuk menggantikan UUD Sementara (Pakpahan, 1994:60). Sistem dalam pemilu ini menggunakan sistem perwakilan proposional, dimana setiap daerah pemilihan akan memperoleh jumlah kursi berdasarkan jumlah penduduknya,  dengan ketentuan setiap daerah berhak memperoleh jatah minimum 3 (tiga) kursi untuk DPR dan 6 (enam) kursi untuk konstituante. Jumlah anggota DPR seluruh Indonesia merupakan total jumlah penduduk Indonesia dibagi 300.000 dan dibulatkan ke atas. Sedangkan untuk jumlah anggota konstituante merupakan total jumlah penduduk Indonesia dibagi 150.000 dan dibulatkan ke atas. Sehingga terdapat 260 kursi DPR dan 520 kursi konstituante yang diperebutkan. Untuk anggota konstituante ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat oleh pemerintah (Pamungkas, 2019: 14).  

Penduduk yang mempunyai hak pilih adalah WNI yang telah berusia 18 tahun atau sudah menikah baik laki-laki maupun perempuan, berpikiran sehat, dan tidak sedang menjalankan hukuman. Sedangkan WNI yang berada di luar negeri tidak diberikan kesempatan untuk memilih dalam Pemilu 1955. Total WNI yang mempunyai hak pilih adalah 43.104.464 dari total 77.987.879 penduduk Indonesia.Pemilu ini diikuti oleh 36 partai politik, 34 organisasi massa, dan 48 calon perorangan untuk merebutkan kursi DPR. Sedangkan untuk perebutan kursi konstituante diikuti oleh 39 partai politik, 23 organisasi massa, dan 29 calon perorangan. Seseorang dapat dicalonkan sebagai anggota legislatif apabila memenuhi syarat seperti WNI baik laki-laki maupun perempuan, sudah mencapai usia 25 tahun, tidak kehilangan hak pilih, tidak sedang menjalani hukuman, tidak terganggu ingatannya, serta bersedia untuk dicalonkan dan menyetujui posisinya dalam urutan daftar calon legislatif. Pendanaan penyelenggaraan Pemilu 1955 dianggarkan oleh Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp 479.891.729 yang disalurkan melalui Bank Indonesia. Dana tersebut digunakan untuk honor para panitia penyelenggara, sosialisasi pemilu, pencetakan surat suara, pembuatan bilik￾bilik pencoblosan, dan distribusi surat suara. Total suara yang sah dari pemilu untuk perebutan kursi DPR, adalah 37.875.299 atau 87,65 persen dari total pemilih. Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi merupakan partai yang memperoleh suara terbanyak masing-masing 22,32 persen dan 20,92 persen. Sedangkan untuk memilih anggota konstituante, jumlah kursi yang dipilih adalah sebanyak 520 kursi, namun jatah enam kursi di Provinsi Irian Barat tidak dihitung karena tidak diadakan pemilihan di wilayah tersebut. PNI dan Masyumi juga memperoleh suara terbanyak untuk konstituante, yaitu 23,97 persen dan 20,59 persen.

Tulisan dari BPS (Statistik Pemilu 2019, hlm. 10)

Sabtu, Januari 09, 2021

TAHAP PERSIDANGAN PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA


Dasar Hukum :
  1. UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TERAKHIR TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2O2O TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.
  2. UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN
  3. UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG.
  4. UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2O16 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG.
  5. PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5 TAHUN 2020 TENTANG TATA BERACARA DALAM PERKARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

Selasa, Maret 31, 2020

ARTI PEMILIHAN UMUM, KODE ETIK PENYELENGGARA PEMILU

1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

2. Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara demokratis.

4. Kode Etik Penyelenggara Pemilu adalah suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman perilaku bagi Penyelenggara Pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

_______

*1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109);
2.Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum (BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 291)
3. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik danPedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1338);
4. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1603);

Sabtu, Maret 28, 2020

Apakah Tujuan Suatu Sistem Pemilihan?

Penyebab efek yang tidak dapat diramalkan ini untuk  sebagian terletak pada kenyataan bahwa setiap sistem  pemilihan merupakan sekumpulan kompromi dalam mencoba meraih serangkaian tujuan sosial-politik yang  banyak di antaranya tidak saling mendukung. Beberapa  di antara kemungkinan tujuan yang dipunyai sistem  pemilihan dapat digambarkan sebagai berikut:

• membantu terciptanya perwakilan yang efektif, sehingga semua kelompok masyarakat mempunyai  kemampuan mengakses posisi-posisi politik;
• mengurangi kerumitan, sehingga pemilihan dapat diakses oleh para pemilih;
• bersikap realistis dan berkesinambungan dalamhubungan dengan kemampuan finansial, teknis, dan administratif sebuah negara;
• mendorong konsiliasi (hidup secara damai), kerjasama, dan tindakan saling menguntungkan antara pelaku politik;
• mendorong para pemilih untuk mempengaruhi siapa yang mewakili mereka;
• meningkatkan persepsi publik akan keabsahan parlemen dan pemerintah;
• membantu pembentukan pemerintah yang efektif;
• memajukan suatu sistem dengan partai-partai politik yang koheren atau padu;
• memajukan akuntabilitas pemerintah dan wakil-wakil yang dipilih terhadap publik;
• mendorong pertumbuhan partai-partai politik yang inklusif dengan cakupan kelompok-kelompok  masyarakat yang luas;
• membantu memajukan pengawasan parlemen atas kegiatan eksekutif; dan
• jadilah inovatif dalam menemukan solusi atas kekurangan-kekurangan masa lalu yang dirasakan

Tulisan :  Alan Wall dan Mohamed Salih

Rabu, Maret 18, 2020

7 PRINSIP PEYELENGGARA PEMILU

International IDEA merumuskan ada 7 prinsip penyelenggara pemilu yang berlaku universal, antara lain:
  1. Independen: secara terminologi dimaknai sebagai suatu posisi atau keadaan tidak terkait dengan pihak manapun. Dalam konteks pemilu istilahindependensi merujuk pada dua konsep yakni ‘independensi struktural’ dari pemerintah (sebagaimana dimiliki oleh model penyelenggaraan Independen) dan ‘independensi sikap’ yang diharapkan dimiliki oleh semua  LPP (lembaga penyelenggara pemilu). Terlepas dari model penyelenggaraan apapun yang dipakai, di mana LPP tidak bertekuk lutut terhadap tekanan pemerintah, politisi, sertapengaruh-pengaruh partisan lainnya dalam mengambil keputusan menjadikeharusan bagi penyelenggara untuk bersikap dan bertindak independen dalam menyelenggarakan pemilu. Independen ditunjukan dari kemampuan penyelenggara untuk bebas dari kepentingan dan tekanan politik manapun.
  2. Imparsialitas: Terlepas dari model penyelenggaraan macam apa yangdipakai dan sumber akuntabilitas apa yang dimiliki, lembaga penyelenggarapemilu harus memperlakukan semua peserta pemilu secara merata, adil dan setara, tanpa sedikitpun memberikan keuntungan kelompok-kelompok tertentu. Kehadiran sikap imparsialitas dapat disebabkan oleh dua faktor: kerangka hukum yang tersedia dan struktur kelembagaan penyelenggara pemilu.
  3. Integritas: Secara terminologi integritas dimaknai sebagai sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan atau kejujuran. Penyelenggara pemilu dituntut untuk memiliki kepribadian dan komitmen yang kuat untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya guna mengendalikan semua proses pemilu sesuai aturan dan norma-norma hukum yang berlaku
  4. Transparansi: transparansi merupakan prinsip dan standar paling dasaryang harus dipenuhi oleh penyelenggara pemilu. Dengan transparansi yangdilakukan oleh penyelenggara pemilu di setiap aktivitas, operasional kerja,keuangan dan keputusan yang diambil dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara sekaligus membangun legitimasi pemilu, serta dapat membantu memerangi persepsi korupsi dan tidak netral terhadap penyelenggara;
  5. Efisiensi: salah satu capaian keberhasilan pemilu ialah terselenggaranya pemilu yang efisien dari segi beban kerja dan keuangan, namun menghasilkan kerja-kerja yang efektif. Di tengah semakin cepatnya perkembangan teknologi dan tuntutan terhadap aktivitas-aktivitas berbiaya tinggi seperti pendidikan pemilih dan diseminasi informasi, LPP harus ekstra berhati-hati dalam menyusun program kerja sehingga dapat bersifat berkelanjutan, efisien, berintegritas dan modern.
  6. Profesionalisme: terdapat dua elemen penting untuk mencapai profesionalisme lembaga penyelenggara pemilu yakni teliti dan akurat. Setiap anggota penyelenggara pemilu termasuk para pekerjanya perlu memastikan setiap aktivitas dan operasional kerja dilakukan secara teliti dan akurat. Pelatihan oleh tenaga-tenaga profesional dapat membangun persepsi masyarakat bahwa proses pemilu dilangsungkan oleh orang-orang yang tepat. Namun demikian, sikap dan perilaku dari anggota penyelenggara beserta stafnya, ikut juga ambil bagian dalam menghasilkan profesionalisme. Komitmen personal dari masing-masing individu di dalam LPP terhadap prinsip ekuitas (kewajaran), akurasi, ketekunan dan pelayanan di dalam setiap tindak-tanduk mereka, merupakan hal yang sangat diperlukan untuk menjaga profesionalisme di dalam penyelenggaraan pemilu.
  7. Pelayanan: pelayanan yang maksimal dilakukan oleh penyelenggara dan para pekerjanya menjadi prinsip pendukung untuk memenuhi prinsipprinsip lainnya. Standar pelayanan perlu diterapkan di interal lembaga termasuk dalam prosedur kerja ketika tahapan pemilu berlangsung. Hal ini bisa terkait dengan pelayanan berbasis waktu seperti standar waktu antrian pemilih untuk mendapatkan surat suara, standar waktu menunggu respon pelaporan gugatan, atau standar waktu yang dibutuhkan untuk memproses data registrasi pemilih, selain itu standar prosedur ini juga bisa berkaitan dengan pelayanan berbasis kualitas seperti persentase jumlah pemilih yang ditolak karena ada kesalahan pada saat registrasi, proporsi jumlah materi.
sumber : 
  • Wall, Alan.. et al. 2016. Desain Penyelenggaran Pemilu: Buku Pedoman Internasional IDEA. The International IDEA dan Perludem.
  • Perdana, Aditya, dkk. 2019. Tata Kelola Pemilu di Indonesia. Jakarta : Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia.

Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...