Pemilu yang berlangsung pada masa Orde Baru dilaksanakan sebanyak 7 (tujuh) kali, yaitu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Anggota DPR pada masa tersebut tidak semuanya dipilih dalam pemilu. Anggota DPR yang dipilih, sifat perwakilannya disebut sebagai perwakilan politik (political representation). Sedangkan orang-orang yang diangkat karena fungsi/jabatan atau keahlian, sifat perwakilannya disebut perwakilan fungsional (functional representation (Saragih, 1981, dalam Pakpahan, 1994:20). Salah satu perwakilan fungsional yang diangkat di DPR/MPR adalah Fraksi ABRI. Dasar dari perwakilan ini oleh Pakpahan (ibid, 162) adalah karena ABRI tidak memiliki hak pilih dalam pemilu, sehingga tidak memiliki wakil dalam DPR. Jika ABRI ikut pemilu dan ikut dalam organisasi politik, maka ABRI dapat terpecah-pecah seperti yang terjadi pada Orde Lama. Karena sudah memiliki kursi di DPR, maka ABRI harus netral terhadap PPP, Golkar, dan PDI. Pada Pemilu 1971-1982, ABRI memperoleh jatah kursi DPR sebanyak 75 kursi sedangkan Golkar non ABRI memperoleh 25 kursi. Pada Pemilu 1987-1997 jatah kursi untuk Golkar non ABRI ditiadakan namun jatah kursi untuk ABRI yang semula 75 kursi dinaikan
menjadi 100 kursi. Sementara itu, pada pelaksanaan Pemilu 1971-1982, partai peserta pemilu dibedakan atas dasar asas dan ideologi partai. Mulai dengan Pemilu 1987, seluruh partai politik peserta pemilu berasas tunggal pancasila (Puspoyo, W., 2012).
Pada Pemilu 1971, terdapat 9 (sembilan) partai politik dan 1 (satu) organisasi masyarakat (Golkar), yang memperebutkan 351 kursi. Namun hanya 8 (delapan) peserta pemilu yang meraih kursi (Tabel 2.4 dan 2.5). Pemilu 1971 dimenangkan Golkar dengan meraih 62,80 persen suara, sehingga berhasil memperoleh 227 kursi DPR. Kemudian disusul oleh NU dengan 18,67 persen suara yang berhasil memperoleh 58 kursi.Pemilu 1977 sampai dengan Pemilu 1997 hanya dikuti oleh 2 (dua) partai, yaitu PPP dan PDI serta Golkar sebagai organisasi masyarakat. Dua partai peserta pemilu tersebut merupakan gabungan dari beberapa partai sebelumnya. PPP adalah partai gabungan dari partai-partai Islam, misalnya Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Sedangkan PDI adalah gabungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan dua partai Kristen (Liddle, 1992: 40).
Golkar selalu menjadi pemenang pemilu pada kurun waktu tersebut. Perolehan suara Golkar selalu mengalami kenaikan meskipun sempat turun pada Pemilu 1992 sebesar 5,06 persen. Golkar kehilangan 20 kursi, dari 299 kursi pada Pemilu 1987 menjadi 279 kursi pada Pemilu 1992. Namun, berkurangnya kursi Golkar tidak memengaruhi dominasi partai tersebut karena adanya tambahan kursi jatah dari ABRI sebesar 100 kursi menjadikan total kursi Golkar menjadi 382 kursi (76,40 persen). Pemilu 1997 menghasilkan persentase tertinggi untuk kemenangan Golkar. Kursi Golkar meningkat sebanyak 43 kursi, PPP meningkat 28 kursi, dan PDI merosot
45 kursi. Dengan demikian, dominasi Golkar semakin kuat sedangkan kekuatan partai politik mengalami penurunan. Posisi kedua pada Pemilu 1977 sampai dengan 1997 ditempati oleh PPP. Suara PPP pada Pemilu 1987 mengalami
penurunan yang signifikan sebesar 11,81 persen. Hal ini disebabkan adanya masalah intern partai, yaitu adanya ketidakpuasan NU terhadap Parmusi, sehingga para kyai NU mengeluarkan pesan kepada warganya yang menyatakan bahwa tidak lagi wajib memilih PPP dan tidak mengharamkan memilih Golkar atau PDI (Romli, 2006 dalam Rusidi, Z.N., 2011). Adanya penerapan asas tunggal Pancasila juga sebagai faktor penyebab turunnya suara PPP pada Pemilu 1987. Pada pemilu ini, untuk pertama kalinya PPP menggunakan tanda gambar Bintang setelah dua pemilu sebelumnya menggunakan tanda gambar Ka’bah. Sementara itu, PDI dalam Pemilu Orde Baru selalu memperoleh suara terendah. Eklof (2003: 18), menggambarkan PDI pada era Orde Baru sebagai partai yang tidak pernah berseberangan dengan rezim, secara konstan ditimpa konflik internal, didominasi intervensi pemerintah, serta memiliki kredibilitas rendah di masyarakat umum. Ia juga mengutip Riza Sihbudi (1987) yang menyebut PDI sebagai partai gurem, untuk menggambarkan insignifikansinya dalam politik masa itu. Persentase suara sah pemilu pada masa Orde Baru terus menurun dan diikuti naiknya persentase suara tidak sah. Hal ini bisa dibaca sebagai ketidakpuasan terhadap proses pemilu, namun publik enggan untuk terang-terangan tidak datang ke TPS.
Tulisan dari BPS (Statistik Pemilu 2019, hlm. 13-16)