Perkembangan pajak di Indonesia cukup buruk
karena banyak masyarakat yang tidak taat membayar pajak, karena tidak memiliki
uang atau memang tidak peka terhadap pembangunan yang merata untuk
kesejahteraan Bangsa Indonesia dan demi kesejahteraan masyarakat dan dirinya
sendiri. Tidak hanya kalangan menengah ke bawah tetapi mayoritas orang-orang
menengah ke atas yang sering kali di kejar oleh Direktorat Jenderal pajak untuk
membayar pajak sesuai dengan aturan yang ada, seperti pengusaha-pengusaha
ataupun pejabat pemerintah hanya ingin menikmati fasilitas pajak dan tidak
pernah menyadari bahwa apakah mereka sudah benar untuk membayar pajak atau
tidak.
Upaya untuk menekan hal tersebut, maka
Direktorat Jenderal Pajak melakukan upaya terakhir bagi menunggak pajak dengan
cara penyanderaan atau sering disebut gijzeling.
Penyanderaan atau gijzeling yang
dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak kepada wajib pajak yang menunggak dalam
jumlah yang besar harus didasari dengan undang-undang yang berlaku sehingga
sejalan dengan hukum yang ada. Untuk memuluskan tidakan yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak kepada wajib pajak yang menunggak pajak, maka
diperlukan suatu dasar hukum yang jelas untuk payung hukum dalam setiap
tindakan gijzeling ini karena harus sesuai dengan tiga nilai dasar hukum yang
terdiri dari kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Dasar Hukum Penyanderaan Secara terminologi, gijzeling dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(PPSP) diartikan sebagai penyanderaan, yaitu pengekangan sementara waktu
kebebasan penangung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Dikenakan
tindakan penyanderaan adalah penanggung pajak yang cakupannya meliputi
penunggak pajak (wajib pajak) dan yang bertanggungjawab atas pembayaran pajak. Tindakan
penyanderaan merupakan bagian dari serangkaian kegiatan dalam penagihan pajak.
Apabila dirunut ke belakang, kegiatan penagihan dimulai dengan penerbitan surat
teguran kemudian penerbitan surat paksa. Apabila dalam jangka waktu 14 hari
dari penerbitan surat paksa utang pajak ditambah biaya penagihan tidak juga
dibayarkan maka dapat dilakukan tindakan penyitaan yang dapat dilanjutkan
dengan penyanderaan. Dua syarat utama penyanderaan adalah jumlah utang pajak
minimal Rp.100.000.000,- dan penanggung pajak diragukan atau tidak beritikad
baik dalam membayar utang pajak.
Selain dari Undang-Undang ini penyanderaan
juga di atur pada PP No. 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara
Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi
Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Selanjutnya dikeluarkan suatu
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan HAM No
.M-02.UM.09.01 Tahun 2003, No 294 / KMK.03/2003 tentang Tata Cara Penitipan
Penanggung Pajak Yang Disandera di Rumah Tahanan Negara Dalam Rangka Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa.
Ada hal yang harus diantisipasi
Ditjen Pajak ketika melakukan tindakan penyanderaan terhadap para penunggak
pajak, yakni isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Isu ini dapat saja
dimanfaatkan oleh pihak yang berkepentingan, yang dikhawatirkan akan menghambat
laju tindakan penagihan pajak ini. Ternyata, apabila dikaji lebih lanjut,
aturan-aturan atau norma-norma yang berkaitan dengan HAM telah dimasukkan dalam
SKB Penyanderaan.
Prinsip terkait HAM telah diatur
jelas dalam SKB tersebut, seperti penyanderaan tidak dilakukan pada saat
penanggung pajak sedang beribadah, memperhatikan hak penanggung pajak pada
waktu menjalankan penyanderaan, misalnya menjalankan ibadah, memperoleh
pelayanan kesehatan, mendapat makanan yang layak, termasuk menerima kiriman
makanan dari keluarga, memperoleh bahan bacaan dan informasi atas biaya sendiri
serta wajib memberikan pelayanan kepada penanggung pajak yang sakit keras atau
meninggal dunia. Ada suatu keyakinan bahwa jika tindakan penyanderaan terhadap
penunggak pajak ini dilakukan secara konsisten, hal itu akan bisa efektif dalam
upaya meningkatkan penerimaan pajak secara cepat.
Pelaksanaan
penyanderaan itu membutuhkan biaya yang besar. Ditjen Pajak berhak menahan
penunggak pajak dalam waktu enam bulan dan bisa dilanjutkan enam bulan lagi
apabila diperlukan. Semua biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penyanderaan
itu ditanggung negara. Tentu dapat dihitung berapa besar biaya yang akan
dikeluarkan negara.
Apabila
kurun waktu penyanderaan sudah melewati setahun, belum ada aturan tindak lanjut
terhadap penunggak pajak tersebut. Aturan yang ada hanya mengatur berakhirnya
masa penyanderaan bagi penunggak pajak. Yaitu, utang pajak dan biaya penagihan
telah dibayar lunas, jangka waktu surat perintah penyanderaan habis, adanya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan berdasar pertimbangan
tertentu dari menteri keuangan atau gubernur. Artinya, penunggak pajak akan
bebas secara otomatis jika jangka waktu penyanderaan habis.
Keadaan ini menjadikan suatu contoh bagi
penunggak pajak untuk mendorong kesadarannya serta kepatuhan wajib pajak.7
Dengan kata lain aturan yang dibuat dalam pemungutan pajak pun tunduk kepada
ketentuan hukum pajak yang tentunya berlandaskan norma-norma hukum, prinsip,
dan juga asas hukum secara umum yang berlaku. Indonesia merupakan Negara hukum,
jadi hukum tidak memiliki wibawa kalau tidak dipaksakan dalam impelementasinya
karena setiap kalangan yang berurusan dengan namanya hukum akan mengabaikan
hukum begitu saja.Dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak harus
bisa lebih memupuk rasa semangat dan nasionalisme untuk membangun negara dengan
memberikan fasilitas yang baik supaya wajib pajak merasa uang yang di berikan
kepada negara tidak sia-sia serta bisa dinikmati secara merata.
Sumber
Tulisan :
- Sartjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Asitya
Bakti, Bandung, hal. 19.
- Dewa Gede Rudy dan Putu Mahanta Pradana Putra, Penyanderaan (Gijzeling) Kepada
Penunggak Pajak Yang Dilakukan Oleh Direktorat Jendral Pajak, Dosen
Universitas Udayana Bali.
- Chandra Budi, Efektivitas Gijzeling, bekerja di Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan, Alumnus Pascasarjana IPB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar