1. Asas konsensualisme
Asas
konsensualisme memberikan batasan bahwa suatu perjanjian terjadi sejak
tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak, dengan kata lain perjanjian itu
sudah sah dan membuat akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara
pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan bahwa
perjanjian dapat dibuat secara lisan atau dapat pula dibuat dalam bentuk
tertulis berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti, kecuali untuk
perjanjian-perjanjian tertentu yang harus dibuat secara tertulis sebagai
formalitas yang harus dipenuhisebagai perjanjian formal, misalnya perjanjian
perdamaian, perjanjian penghibahan, dan perjanjian pertanggungan. Asas
konsensualisme disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata.
2.
Asas kepercayaan
Asas kepercayaan
(vertrouwensbeginsel), yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa seseoarang
yang mengadakan perjanjian dengan pihaklain menumbuhkan kepercayaan di antara
kedua pihak bahwa satu sama lain akan memegang janjinya atau melaksanakan
prestasinya masing-masing.
3.
Asas kekuatan mengikat
Asas kekuatan
mengikat mengatur bahwa para pihak pada suatu perjanjian tidak semata-mata
terikat pada apa yang diperjanjikan dalam perjanjian, akan tetapi juga terhadap
beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatutan, serta
moral.
4.
Asas persamaan hukum
Asas persamaan
hukum menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan
yang menyangkut perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan dan jabatan.
5.
Asas keseimbangan
Asas ini
merupakan lanjutan dari asas persamaan hukum. Kreditur atau pelaku usaha
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban
untuk melaksanakan perjanjian itudengan itikad baik. Di sini terlihat bahwa
kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan
itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur menjadi seimbang.
6.
Asas kepastian hukum
Perjanjian
merupakan suatu figur hukum sehingga harus mengandung kepastian hukum. Asas
kepastian hukum disebut juga asas pacta sunt servanda. Asas pacta
sunt servanda merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan daya
mengikat suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak
mengikat bagi mereka yang membuatnya seperti Undang-Undang. Demikian, maka
pihak ketiga tidak mendapatkan keuntungan karena perbuatan hukum para pihak,
kecuali apabila perjanjian tersebut memang ditujukan untuk kepentingan pihak
ketiga. Maksud dari asas pacta sunt servanda ini dalam suatu perjanjian
tidak lain adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang telah
membuat perjanjian, karena dengan asas ini maka perjanjian yang dibuat oleh
para pihak mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.
7.
Asas moral
Asas moral
terlihat pada perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang
tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak
debitur. Asas moral terlihat pula dari zaakwarneming, dimana seseorang
yang melakukan perbuatan suka rela (moral) mempunyai kewajiban untuk meneruskan
dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1339
KUHPerdata.
8.
Asas
kepatutan
Asas kepatutan
berkaitan dengan isi perjanjian, dimana perjanjian tersebut juga mengikat untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau Undang-Undang. Asas kepatutan dapat disimpulkan dari Pasal 1339
KUHPerdata.
9.
Asas kebiasaan
Asas kebiasaan
menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan secara diam-diam selamanya
dianggap diperjanjikan. Asas ini tersimpul dari Pasal 1339 juncto 1347 KUHPerdata.
Mariam Darus Badrulzaman. 2013. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung : Citra Aditya
Bakti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar