Buku I KUHPerdata mengenai orang adalah mengenai perkawinan. Timbul pertanyaan apa pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan?Bagaimana syarat sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan?Apa perbedaan pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan dan KUHPerdata?.Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaanya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUP. Berdasar pada hal tersebut maka setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) agar mempunyai kedudukan yang kuat menurut hukum serta memilki kepastian hukum untuk melindungi hak-hak pihak terkait di masa yang akan datang. UU Perkawinan memandang perkawinan sebagai ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan KUHPerdata pada dasarnya tidak memberikan definisi atau pengertian perkawinan. Hanya saja dalam pasal 26 diberikan batasan sebagai berikut: “Undang-Undang hanya memandang soal perkawinan dalam hubungan-hubungan perdata.” Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan KUHPerdata memandang perkawinan sebagai perjanjian yang berisi hak dan kewajiban suami istri dan menurut pasal 81 KUHPerdata, bahwa “tidak ada suatu acara keagamaan boleh dilakukan, sebelum kedua belah pihak kepada pejabat agama mereka membuktikan, bahwa perkawinan di hadapan pencatatan sipil telah dilangsungkan,” dengan demikian perkawinan cukup dilangsungkan di hadapan pencatatan sipil saja dan tidak ada kaitannya dengan agama pasangan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan perkawinan menurut UU Perkawinan. Untuk menjamin tercapainya tujuan perkawinan, maka orang yang akan melakukan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 6 s.d. 12 UUP, yang terdiri dari:
Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) UUP)
Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (2) UUP).
Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah 19 tahun (Pasal 7 ayat (1) UUP-P).
Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8 UUP).
Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9 UUP) kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 UUP.
Perkawinan setelah kedua kalinya antara orang yang sama adalah dilarang (Pasal 10 UUP).
Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda (Pasal 11 UUP).
Sedangkan mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri (Pasal 12 UUP).
Apa akibat hukum dari perkawinan berdasarkan UU Perkawinan dan KUHPerdata terhadap: Suami istri, Harta kekayaan dan Anak. Sebagai suatu hubungan hukum, perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri. Hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam Pasal 30-34 UU Perkawinan. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, maka masing-masing dapat menuntutnya terhadap pihak lain dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan, dari hal tersebut tercermin bahwa kedudukan suami dan isteri dalam perkawinan adalah seimbang dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
perkawinan berakibat pada harta kekayaan suami dan isteri. Sebelumnya berdasarkan Pasal 119 KUHPerdata, sejak dilangsungkannya perkawinan maka demi hukum berlakulah persatuan bulat harta kekayaan suami dan istri. Sejak berlakunya UU Perkawinan, harta kekayaan suami dan isteri diatur dalam Pasal 35 s.d 37 dan 65 UU Perkawinan. Dalam Pasal 35 UU Perkawinan dinyatakan bahwa harta yang didapat selama perkawinan menjadi harta bersama, kecuali ditentukan lain dengan perjanjian perkawinan yang dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Sehingga dalam UU Perkawinan, harta bawaan suami atau isteri tetap menjadi harta pribadi masing-masing. Persatuan harta baru terjadi setelah perkawinan berlangsung dan bubar pada saat perkawinan bubar. Pasal 36 UU Perkawinan menyebutkan bahwa untuk harta bersama, suami atau isteri bertindak harus dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan untuk harta bawaan suami dan isteri dapat bertindak tanpa persetujuan. Menurut Pasal 37 UU Perkawinan jika perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta bawaan masing-masing suami-isteri, serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama. Pada mulanya perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan, namun dengan adanya Putusan Mahkamah Kontistusi Nomor 60/PUU-XII/2015 maka perjanjian perkawinan dapat dilakukan setelah perkawinan berlangsung.
KUHPerdata mengenal dua macam kedudukan anak yaitu, anak sah dan anak luar kawin. Pasal 250 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa KUHPerdata menganut prinsip bahwa anak sah dilahirkan dari perkawinan yang sah. Namun apabila anak lahir kurang dari 180 (seratus delapan puluh hari) sejak perkawinan berlangsung maka suami dapat melakukan pengingkaran terhadap anak tersebut (Pasal 251 KUHPerdata).
Berbeda dengan KUHPerdata, UU Perkawinan mengatur bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Berdasarkan pasal tersebut, maka anak yang dilahirkan diluar atau akibat perkawinan yang tidak sah adalah anak luar kawin. Pasal 43 UUP menyatakan bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Dalam perkembangan, terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-2010 Tanggal 13 Februari 2012 Tentang Status Anak Luar Kawin yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya, sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Berbeda dengan KUHPerdata, UUP tidak menyebutkan mengenai batas waktu penyangkalan anak. Pasal 44 UUP hanya menyebutkan bahwa seorang suami dapat menyangkal anak yang dilahirkan oleh isterinya jika ia dapat membuktikan bahwa anak tersebut adalah anak zinah.
UU Perkawinan dan KUHPerdata mengatur mengenai sebab dan alasan putusnya perkawinan. Sekalipun sebuah perkawinan suami istri telah putus, maka mereka tetap memiliki kewajiban terutama terhadap anaknya. Apa saja kewajiban tersebut menurut UU Perkawinan? Pasal 41 UU Perkawinan mengatur kewajiban ayah dan ibu yang telah bercerai, yaitu:
a. ayah dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan akan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.