Translate

Tampilkan postingan dengan label Kuasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuasa. Tampilkan semua postingan

Minggu, Juni 07, 2020

KUASA BIASA DAN SKMHT

Apakah SKMHT dapat dibuat secara sepihak?

Prinsipnya, pemberian kuasa adalah tindakan sepihak dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Sehingga pada saat kuasa itu diberikan, kuasa tersebut belumlah mengikat dua pihak (pemberi dan penerima kuasa). Akan tetapi, kuasa tersebut akan berubah menjadi mengikat dua pihak jika kuasa tersebut sudah dilaksanakan oleh penerima kuasa sehingga pemberi kuasa akan terikat serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh penerima kuasa terhadap pihak lain berdasarkan kuasa dimaksud. Pelaksanaan kuasa oleh penerima kuasa dianggap sebagai penerimaan secara diam2 pemberian kuasa tersebut meskipun penerima kuasa tidak ikut tanda tangan pada dokumen kuasa. Kuasa yang dikatagorikan sebagai kuasa sepihak ini dapat dicabut atau berakhir sewaktu-waktu sebagaimana ditentukan dalam pasal 1813 BW. Kuasa sepihak ini biasanya diberikan untuk kepentingan pemberi kuasa dan penerima kuasa harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan kuasa tersebut kepada pemberi kuasa. 

Pemberian kuasa juga dapat bersegi dua yaitu dapat mengikat dua pihak (pemberi dan penerima kuasa) sejak awal dan terikat sebagai suatu perjanjian. Hal ini dapat terjadi jika pemberian kuasa itu sejak awal sudah diterima oleh penerima kuasa secara langsung yang ditandai dengan ikutnya penerima kuasa menandatangani dokumen kuasa dimaksud. Jika dokumen kuasa ditandatangani oleh dua pihak sejak awal maka pemberi dan penerima kuasa dapat memperjanjikan ketentuan2 yang dikehendaki oleh mereka dalam pemberian kuasa dimaksud seperti pengecualian ketentuan pasal 1813, 1814, 1816 BW. Kuasa dua pihak ini biasanya diberikan jika kuasa tersebut diberikan untuk kepentingan penerima kuasa, sehingga pada kuasa yang dua pihak ini juga lazim diperjanjikan bahwa penerima kuasa dibebaskan dari pertanggungjawaban sebagai penerima kuasa. 

Bagaimana dengan SKMHT yang diatur dalam UUHT? 

SKMHT ini merupakan  kuasa khusus yang diatur dalam UUHT yang muatan minimalnya harus memenuhi apa yang telah ditentukan dalam pasal 15 UUHT. Jika SKMHT yang dibuat bertentangan atau tidak memenuhi ketentuan pasal 15 UUHT tersebut maka SKMHT itu batal demi hukum. 

Meskipun muatannya sudah disyaratkan oleh UUHT, pembuatan SKMHT ini tetap tunduk pada Bab XVI BW tentang pemberian kuasa. Artinya, syarat2 dan ketentuan umum yang diatur dalam BW tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUHT. 

Apakah SKMHT dapat dibuat secara sepihak? 

UUHT tidak mengatur secara khusus tata cara pembuatan dan pemberian SKMHT, apakah SKMHT harus dibuat secara dua pihak atau dibuat sepihak. Dalam pasal 15 UUHT hanya disebut bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Lebih lanjut pasal 15 UUHT tersebut hanya mengatur mengenai muatan yang harus dicantumkan dalam SKMHT. Oleh karenanya dapat ditafsirkan, ketentuan yang termuat dalam Bab XVI BW tetap dapat diberlakukan pada SKMHT termasuk prinsip dasar kuasa yang merupakan tindakan sepihak. Meskipun SKMHT dapat dibuat secara sepihak, ketentuan pasal 1813, 1814, 1816 BW tidak boleh disimpangi,  terutama ketentuan pasal 1814 yang mengatur kuasa dapat ditarik jika dikehendaki, karena UUHT dalam pasal 15 ayat (2) sudah menentukan bahwa SKMHT tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun kecuali sudah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. Dengan ancaman jika dibuat melanggar ketentuan pasal 15 UUHT maka SKMH tersebut batal demi hukum. 

Yang sangat penting juga diperhatikan adalah meskipun SKMHT itu dapat dibuat secara sepihak, SKMHT dibuat untuk kepentingan penerima kuasa bukan untuk kepentingan pemberi kuasa. SKMHT dapat dibuat secara sepihak dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Bab XVI BW dan pasal 15 UUHT. 

*Taufik-INC

Selasa, Februari 05, 2019

Jenis Kuasa dan Bentuk Kuasa di depan Pengadilan

Pertemuan bagian ini, kita membahas secara ringkas jenis kuasa dan bentuk kuasa di Pengadilan yang diatur dalam HIR/RBG, KUHD dan peraturan perundang-undangan lainnya.
google.com/foto

Jenis Kuasa


1. Kuasa Umum

Diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata, bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu :
  • melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;
  • pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya;
  • titik berat pemberi kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa. 
Kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu, di sisi hukum, surat kuasa umum tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Ketentuan Pasal 123 HIR menyatakan bahwa untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat surat kuasa khusus.

2. Kuasa Khusus

Pasal 1795 KUH Perdata menyatakan, pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk ini yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. dan diperlukan penyempurnaan terlebih dahulu sesuai dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR

Tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa tidak dimaksudkan untuk tampil mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan, tidak diperlukan syarat tambahan, cukup berpedoman pada ketentuan pada Pasal 1795 KUH Perdata.


3. Kuasa Istimewa

Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal pemberian kuasa istimewa. Ketentuan pemberi kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasla 157 HIR atau Pasal 184 RBG, antara lain memuat beberapa syarat yang dipenuhi agar kuasa sah sebagai kuasa istimewa, antara lain :

  • Bersifat Limitatif. hanya terbatas pada : 1)  Untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut, 2) untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga, 3) untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan Pasal 157 HIR dan 184 RBG.
  • Harus berbentuk Akta Otentik. Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah dalam bentuk akta otentik (akta notaris).

4. Kuasa Perantara

Kuasa perantara disebut juga agen (agent). Kuasa ini dikonstrusikan berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan (commercial agency) atau makelar, broker dang factor, tetapi lazim disebut perwakilan dagang.

Pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. apa yang dilakukan agen, langsung mengikuti kepada principal, sepanjang hal itu tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang berikan.

Bentuk Kuasa di depan Pengadilan


1. Kuasa secara Lisan

Pasal 120, Pasal 123 ayat (1) HIR dan Pasal 147 ayat (1) RBG, bentuk kuasa lisan terdiri dari :

a. Dinyatakan secara Lisan oleh Penggugat di Hadapan Kuata Pengadilan Negeri

Pasal 120 HIR memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada ketua Pengadilan Negeri, apabila tergugat tidak pandai menulis (buta aksara). Dalam kasus demikian bersamaan dengan pengajuan gugatan lisan itu, penggugat dapat juga menyampaikan pernyataan lisan mengenai :
  • pemberian atau penunjukan kuasa kepada seseorang atau beberapa orang tertentu;
  • pernyataan pemberian kuasa secara lisan itu, disebutkan dalam catatan gugatan yang dibuat oleh ketua Pengadilan Negeri.
Apabila Ketuan Pengadilan Negeri menerima gugatan secara lisan, dia wajib memformulasikannya dalam bentuk gugatan tertulis berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR, apabila gugatan lisan itu dibarengi dengan pemberian kuasa, hal itu wajib dicatat atau dimasukkan Ketua Pengadilan Negeri dalam gugatan tertulis yang dibuatnya.

b. Kuasa yang ditunjuk secara lisan di Pengadilan

Bentuk ini tidak secara jelas dalam Undang-undang. meskipun demikian secara implisit dianggap tersirat dalam Pasal 123 ayat (1) HIR, penunjukkan kuasa secara lisan di sidang Pengadilan pada saar proses pemeriksaan berlangsung diperbolehkan, dengan syarat :
  • penunjukan secara lisan itu, dilakukan dengan kata-kata tegas (expressis verbis).
  • Majelis memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam berita acara sidang.
Penujukan yang demikian dianggap sah dan memenuhi syarat formil sehingga kuasa tersebut berwenang mewakili kepentingan pihak yang bersangkutan dalam proses pemeriksaan. hanya hakim yang bersikap formalitas yang kurang setuju dengan penerapan itu.

2. Kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugatan.

Pasal 123 ayat (1) HIR (Pasal 147 ayat (1) RBG) dan dikaitkan dengan Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBG).

Pasal 118 ayat (1) RBG (Pasal 142 RBG), menyatakan gugatan perdata diajukan secara tertulis delam bentuk surat gugatan yang ditandatangani oleh penggugat.
Pasal 123 ayat (1), penggugat dalam gugatan itu dapat langsung mencantumkan dan menunjuk kuasa yang dikehendakinya untuk mewakilinya dalam proses pemeriksaan.
Penunjukan kuasa yang demikian, sah dan memenuhi syarat formil, karena Pasal 123 ayat (1) jo Pasal 118 ayat (1) HIR, telah mengaturnya secara tegas. Praktik, cara penunjukan seperti itu yang berkembang pada saat sekarang.
Dalam Gugatan, dicantumkan kasus yang akan bertindak mewakili penggugat, cuma dalam pencamtuman dan penjelasan itu dalam surat gugatan didasarkan atas surat kuasa khusus. Menurut hukum penunjukan kuasa dalam surat gugatan tidak memerlukan syarat adanya surat kuasa khusus atau syarat formalitas lainnya. Syaratnya, hanya mencamtumkan penunjukan itu secara tegas dalam surat gugatan.

3. Surat Kuasa Khusus

Pasal 123 ayat (1) HIR mengatakan, selain kuasa secara lisan atau kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan, pemberi kuasa dapat diwakili oleh kuasa dengan surat kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging.

a. Syarat dan Formulasi Surat Kuasa Khusus

Pasal 123 ayat (1) HIR, hanya menyebut syarat pokok saja, yaitu kuasa khusus berbentuk tertulis atau akta yang disebut surat kuasa khusus. Perbuatan surat kuasa khusus sangat sederhana, cukup dibuat tertulis tanpa memerlukan syarat lain yang harus dicantumkan dan dirumuskan di dalamnya. Penyempurnaan dan perbaikan, dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Secara kronologis, MA telah mengeluarkan beberapa SEMA yang mengatur syarat surat kuasa khusus, antara lain :
  1. SEMA no. 2 tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959;
  2. SEMA no. 5 tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962;
  3. SEMA no. 01 tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971;
  4. SEMA no. 6 tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.
b. Bentuk Formil Surat Kuasa Khusus

Pasal 123 ayat (1) HIR, kuasa khusus harus berbentuk tertulis (in writting), itu sebabnya disebut surat kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging.
Pasal 123 ayat (1) HIR, hanya menyebut surat. menurut hukum, pengertian surat sama dengan akta yaitu suatu tertulis yang dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti perbuatan hukum. 
Bentuknya disesuaikan dengan pengertian akta dalam arti luas, berdasarkan pengertian akta dimaksud, surat kuasa khusus dapat berbentuk :
  1.  Akta Notaris;
  2. Akta yang dibuat di depan Panitera;
  3. Akta di bawah tangan.

sumber :

Ali, Chaidir. 1983. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia. Armico : Bandung.

Harahap, M. Yahya . Tanpa Tahun. Hukm Acara Perdata Indonesia. CV Zakir : Medan,.

-----------------------.2009. Hukum Acara Perdata : Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika : Jakarta.

Soesilo, R. . 1983. RBG/HIR dengan Penjelasan. Politeia : Bogor.

NE Algra, Mr. . 1977. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae. Bina Cipta : Jakarta.

MA RI. 1999. Himpunan SEMA dan PERMA. MA RI : Jakarta

HIR/RBG (Herziene Inlandsch Reglement/Rechtsreglement voor de Buitengewesten)

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

Kamis, Januari 31, 2019

Menyelisik awal tentang "KUASA''

Kuasa, tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam Belas, Buku III KUH Perdata, dan aturan khusus diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG


Pengertian Kuasa secara Umum

Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi : Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Bertitik tolak dengan pasal tersebut, terdapat dua pihak, yang terdiri dari :

  • pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate);
  • penerima kuasa atau disebut denga kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmact, full power), jika :
  • pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa;
  • penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
  • pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.
Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif (bersifat memerintah ). Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang.


Sifat Perjanjian Kuasa

a. Penerima Kuasa Langsung Berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa
  • memberi hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa kepada terhadap pihak ketiga;
  • tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
  • ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal  atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
  • akibat hukum dari hubungan tersebut, segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagi pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak materiil).
b. Pemberian Kuasa Bersifat Konsensual (kesepakatan)
  • hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa;
  • hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat sebagai persetujuan  di antara mereka (kedua belah pihak);
  • pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
Pasal 1792 maupun Pasal 1793 KUH Perdata menyatakan, pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk otentik atau dibawah tangan maupun dengan lisan.

Pasal 1793 ayat (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi secara diam-diam, dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam itu, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus. Kuasa Khusus harus disepakati secara tegas dan harus dituangkan dalam bentuk akta atau surat kuasa khusus.

c. Berkarakter Garansi-Kontrak
Menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas :
  • Kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
  • apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas garansi-kontrak yang digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.

Berakhirnya Kuasa

Pasal 1813 KUH Perdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Pemberi Kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata.

1. Pemberi Kuasa menarik kembali secara sepihak. Pasal 1814 KUH Perdata : 
  • pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa;
  • pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk : 1). mencabut secara tegas dengan tertulis, atau 2). meminta kembali surat kuasa, dari pemberi kuasa.
  • pencabutan secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata. caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada kuasa yang baru, ditarik kembali secara diam-diam.
2. Salah satu pihak meninggal

Pasal 1813 KUH Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. Hubungan Hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak diteruskan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. 

3. Penerima Kuasa melepas Kuasa

Pasal 1817 KUH Perdata, menyatakan memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melapaskan (op zegging) kuasa yang diterimanya, dengan syarat :
  • harus memberitahu kehendak itu kepada pemberi kuasa;
  • pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.

sumber :

M. Yahya Harahap. 2009. Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika : Jakarta.

Putusan MA No. 331 K/Sip/1973, tgl 4-12-1975, Rangkuman Yurisprudensi (RY) MA Indonesia, 11, Hukum Perdata dan Acara Perdata. 1997.

Putusan MA No. 731 K/Sip/1975, tgl 16-12-1976.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...