Translate

Tampilkan postingan dengan label Tulisan Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulisan Opini. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Juli 04, 2020

Penguatan Kebijakan Pendidikan Berbasis HAM


Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), kita dapat menyebut sebagai hak yang dianugerahkan langsung oleh Tuhan, kodrat sejati manusia. Manusia adalah ciptaan Ilahi yang dikaruniai kebebasan yang bertanggungjawab. Pengakuan terhadap kebebasan manusia, juga terkait dengan keberadaan manusia dengan manusia, manusia dengan alam atau lingkungan-nya. Artinya keberadaan manusia ditentukan oleh pengakuan atas hak asasi-nya, dengan menghargai harkat dan martabat manusia.

H.A.R Tilaar dalam bukunya yang berjudul ”Perubahan Sosial dan Pendidikan : Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia”, mengatakan bahwa HAM adalah suatu hubungan (relasi) moral antara manusia dengan dunianya, yang selanjutnya memiliki empat unsur. Pertama, Relasi moral dengan diri sendiri, artinya setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Kedua, relasi moral dengan orang lain, bahwa kebersamaan, kasih sayang, tolong menolong dan saling mengisi sesama manusia, sehingga memiliki tanggungjawab bersama untuk menjalani kehidupan damai, makmur dan bersahaja.

Ketiga, relasi dengan moral dengan dunia sekitarnya. Berkaitan dengan kelestarian dan kemanfaatan lingkungan bagi kehidupan manusia. Terakhir keempat, relasi moral dengan sang penciptanya, di dalam hubungan ini menyangkut peranan agama dalam keberadaan manusia dengan kehidupan dan maha penciptanya.

Perkembangan dunia pendidikan saat ini, menuntut keberadaan manusia di dalam keseluruhan kehidupnya. Mengembangkan iman dan akalnya dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan ketajaman akal yang sehat. Jadi, kesemua unsur diatas, adalah upaya mewujudkan Hak asasi atas mendapatkan dan mengembangkan pendidikan untuk kehidupan manusia, kelestarian alam (lingkungan), dan kepada sang maha pencipta.

Kebijakan Berbasis HAM
Terwujudnya pendidikan berbasis HAM, diperlukannya suatu kebijakan yang mestinya dilakukan oleh pemerintah. Menurut Pelapor Khusus PBB Biro Pendidikan wilayah Asia Pasifik UNESCO tentang Hak atas pendidikan, adapun kewajiban-kewajiban pemerintah terkait dengan Hak atas Pendidikan. Pertama, Ketersediaan (availability). Bahwa adanya jaminan wajib belajar dan pendidikan tanpa biaya oleh pemerintah dari usia sekolah sampai dengan sekurang-kurangnya telah memperoleh pekerjaan yang layak.

Sayangnya, salah satu persoalan mengenai jaminan demikian, tak kunjung terlaksana negara kita. Saat ini, pemerintah hanya dapat menyelenggarakan pendidikan wajib belajar 9 tahun, yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dunia pendidikan sekarang. Timbul pertanyaan, apakah pemerintah memiliki kemauan untuk melaksanakan jaminan wajib belajar dan pendidikan tanpa biaya dari usia sekolah sampai memperoleh pekerjaan? Perlu kita jawab bersama.

Kedua, Keterjangkauan (Accessibility). Berkaitan dengan tanpa ada diskriminasi (suku, warna kulit, jenis kelamin, agama, status sosial dan ekonomi). Mewajibkan pemerintah untuk menghapuskan kebijakan yang diskriminasi dan dengan menjamin pemberian kesempatan yang sama dalam pemenuhan hak asasi manusia dalam hal ini hak atas pendidikan, baik formal maupun informal. Selanjutnya, Ketiga Kesesuaian (Adaptability). Menyangkut kebijakan yang memuat rencana dan implementasi pemerintah untuk menyesuaikan pendidikan dengan minat utama setiap anak, misalnya : anak yang berkebutuhan khusus memerlukan cara khusus dalam memperoleh pendidikan, atau anak di daerah pedalaman atau perbatasan negara.

Terakhir, keempat keberterimaan (Acceptability). Bersoal tentang kebijakan menetapkan standar minimum pendidikan, (terdiri dari bahasa pengantar, materi, metode mengajar, serta kurikulum). Keseluruhan itu ditujukan agar dapat terjaminnya penerapan pada lembaga pendidikan baik formal maupun informal sehingga output-nya jelas dan tercapai. Terjaminya penerapan sistem pendidikan yang baik dan benar akan memberikan ruang untuk pemenuhan hak atas pendidikan.

Memajukan sumber daya manusia melalui pendidikan merupakan tugas yang tidak mudah dan membutuhkan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah. Selama kebijakan yang diambil dan diterapkan tak mampu mengatasi rendahnya kualitas pengajar, kurikulum yang tidak tepat, akses dan dana pendidikan yang belum efektif akan berakibat pada menurunnya kualitas pendidikan manusia indonesia dengan sendirinya.

Penutup
Mendorong kebijakan Pendidikan melalui hak asasi manusia adalah penting, suatu sarana dan prasarana yang mutlak diperlukan untuk mewujudkan hak-hak lainnya. Penyelesaian hak atas ketersediaan, keterjangkauan, kesesuaian dan keberterimaan dalam pendidikan sudah sewajibnya dilaksanakan pemerintah. Mendapat akses dan kualitas pendidikan, pekerjaan, kehidupan yang baik dan layak serta mengangkat harkat dan martabat pribadi seorang dan masyarakat melalui pendidikan, dilihat sebagai gerbang menunju keberhasilan suatu bangsa (Knut D. Asplind, 2008:131).

Hakikat pendidikan ialah memanusiakan manusia. Suatu proses yang menunjukkan bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang ditentukan, tetapi suatu perbuatan yang berkelanjutan. Pemenuhan atas pendidikan sebagai aktualisasi dari Hak Asasi Manusia. Sama-sama bersifat praksis, satu kesatuan aksi-refleksi-aksi. Sebab itu, pemerintah selaku pembuat kebijakan pendidikan, seharusnya memperkuat dengan nilai-nilai HAM, sehingga jelas terhadap akses, kualitas, keterbukaan, serta pemerataan yang sama tercermin dalam wajah pendidikan bangsa kedepan. Semoga.

*RipS

Minggu, Mei 05, 2019

Generasi Muda adalah Kunci Kemajuan


google.com/foto
Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya, bukan terhadap sumber daya alam yang cendrung fluktuatif. Paradigma ini dianggap suatu kebenaran. Sebab, zaman sekarang di landasi arus globalisasi yang telah mengubah. Bukan hanya tata cara kehidupan dalam bidang ekonomi, tetapi juga di dalam bidang sosial, pendidikan dan politik. Keunggulan kualitas sumber daya manusia-lah yang dibutuhkan, demi menentukan eksistensi kemajuan satu negara di era milenium ini.

Kenapa diperlukan kualitas sumber daya manusia ditengah hiruk pikuk globalisasi saat ini?. Menurut Mathew Gundring dari Internasional Public Relations Association, ia mengungkapkan ada empat elemen penting dalam ekonomi baru. Pertama, kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi, karena segala hal informasi menjadi transparan dan cepat. Kedua, berkaitan dengan hubungan perdagangan globalisasi yang telah melahirkan berbagai de-regularisasi industri perdagangan. Peraturan-peraturan diatur kembali dan yang akan muncul di masa depan adalah aturan mangatur tentang perdagangan bebas dan pasar terbuka


Selanjutnya ketiga, penting kemampuan atau kualitas sumber daya manusia yang unggul dalam berbagai bidang. Mampu menghadapi persaingan, perebutan talenta atau bakat. Untuk itu, diperlukan manusia-manusia berbakat, unggul akan paham multibudaya, “melek” teknologi, khususnya teknologi informasi, jiwa kewiraswastaan, serta memiliki kemampuan kreativitas. Terakhir, keempat, diperlukan juga kemampuan untuk mengadakan relasi dan kemampuan kepemimpinan. Maksudnya, agar dapat menghasilkan manusia yang dinamis, kreatif dan bermoral terhadap sesama manusia lain. Kenapa bermoral ?. Sebab tanpa moralitas akan mengakibatkan persaingan berubah menjadi pertarungan bebas dengan hukum rimba. Homo homini lupus.

Penjelasan itu, menarik penulis untuk menelaah pentingnya kualitas generasi muda indonesia. Berawal dari kemauan dan paksaan pemerintahan melakukan perubahan (change) sumber daya manusia, warga negaranya. Terutama, memfokuskan pada peningkat kualitas usia produktif rakyatnya. Sebab, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan akan memiliki lapisan usia produktif terbesar pada 2045. Tantangan yang mesti dihadapi dan tentu tidak mudah.

Setidaknya, dengan mengandalkan usia produktif akan memegang peranan strategis dalam membangun bangsa tanpa menimbulkan kesulitan. H.A.R Tilaar dalam bukunya “paradigma baru pendidikan nasional”, menyebutkan bahwa generasi muda-lah yang mampu membangun masyarakat Indonesia yang kuat dan bersatu dalam kenyataan yang bhinneka. Usia produktif atau generasi muda kita tidak menjadi “the lost generation”. Keterjagaan kualitas usia produktif, akan mengarah pada manusia kreatif, inovatif, memahami dan memiliki nilai-nilai budaya sendiri, itu hal yang perlu diprioritaskan agar dapat berdaya saing di tingkat global.


Telah terbukti, bahwa pentingnya peran sumber daya manusia dalam pembangunan bangsa. Misalnya saja, negara-negara timur tengah mengalami kesusahan karena turunnya harga minyak, sebaliknya negara di Eropa seperti Jerman tetap berdiri tegak kerena tidak tergantung pada sumber daya alamnya tetapi mengandalkan sumber daya manusia. Ini menjadi pelajaran bagi kita. Untuk perlu mempersiapkan manusia-manusia atau generasi indonesia menjadi individu yang tangguh baik secara mental, fisik, sosial maupun finansial.

Perlu diketahui, pesatnya arus globalisasi seakan-akan tak terbendung lagi. Bukan hanya memberikan nilai positif (the value of positive) , tetapi juga dapat mengakibatkan degradasi kualitas manusia-nya. Misalnya, gejala perubahan sosial antara lain hilangnya tradisi. Dikhawatirkan hilangnya nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai moral seperti : saling menghargai, cinta sesama, peduli, tolong menolong dan cinta tanah air. Disinilah dibutuhkan keseriusan peran pemerintah dalam melakukan dan menjaga suatu tatanan nilai yang hidup dan dipelihara serta dihormati yang telah lama  berada di tengah-tengah masyarakat. Jika tidak, banyak terjadi ketimpangan sosial.

Kenapa pemerintah tidak mendorong secara aktif pembangunan kualitas generasinya ?. Inilah dilema antara kuantitas dan kualitas negara ini.  Tidak menunggu waktu lama atau mengulur-ulur waktu untuk melakukan perubahan. Unsur-unsur politik, kepentingan sesaat harus dibersihkan dalam Pemerintahan, agar dapat ditangani lebih profesional dan sesegera mungkin demi majunya generasi muda kedepan. Bilamana terpaksa harus dijalankan revolusi, apa salahnya. Tetapi, mari kita serahkan kunci ini kepada pemimpin negeri ini untuk menentukan dan memutuskan. Mau dibawa “gelap atau terang” generasi muda-nya.

Tulisan ini terbit di Harian Padang Ekspres

Minggu, April 21, 2019

Budaya sebagai Pondasi Pendidikan

google.com/foto
Siapa yang tak kenal dengan Mahatma Gandhi. Seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India. Keberanian dan kegigihan melawan kesengsaraan dan ketidakadilan, ia lakukan dengan cara ahimsa. Namun, ia meninggal dunia karena di bunuh oleh seorang pada tahun 1948 silam. Semasa hidupnya, Gandhi pernah berujar, Bahwa orang pada umumnya tidak mengerti apa itu sesungguhnya pendidikan. Bahwa pendidikan sebagai hak asasi yang melekat setiap diri manusia, yang dapat berkembang di dalam interaksi dengan kebudayaannya.

Pendidikan adalah sebuah lembaga vital dan investasi jangka panjang bagi suatu negara dan masyarakat. Pendidikan bagi masyarakat luas bukan hanya menghasilkan orang-orang pandai namun dapat melahirkan peradaban umat manusia. Salah satu dari bagian pemenuhan kesejahteraan dalam hal ekonomi, sosial dan budaya. Itulah esensial pendidikan.

Menelisik problematika pendidikan Indonesia saat ini. Pertama, kita dapat melihat dari tataran fisik terkait bangunan sekolah, yang tidak layak, banyak yang rusak, bahkan sudah melukai dan menghilangkan nyawa manusia. Ini erat kaitannya dengan praktik korupsi. Pos anggaran insfrastuktur pembangunan sekolah merupakan sasaran paling empuk yang dijadikan lahan korupsi.

Kedua, persoalan anggaran pendidikan. Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat (3) bahwa anggaran pendidikan telah ditetapkan wajib, mencapai persentase sekurang-kurangnya dua puluh persen. Kenyataanya, persentase demikian jauh dari cita-cita “konstitusional”. Sisi lainnya, menurut Darmaningtyas (pengamat pendidikan) berpendapat bahwa persentase demikian juga dipakai untuk banyak hal, mulai dari membayar gaji guru, membangun sekolah atau insfrastruktur pendidikan TK sampai Perguruan Tinggi.

Ketiga, pemerintah sendiri belum lagi mengambil sikap progresif dalam mengkampayekan pendidikan sebagai hak dasar manusia. Pendidikan semestinya diyakini sebagai jalan menuju kesuksesan dan kemajuan peradaban bangsa. Partisipasi masyarakat hanya lebih condong pada sumbangan uang. Kegiatan pemantauan, evaluasi dan akuntabilitas dalam pendidikan seakan-akan tak pernah dilibatkan masyarakat oleh pemerintah.



Jika dalam penyelenggaraan pendidikan justru bergerak menuju problema demikian, maka pencapaian cita-cita pendidikan nasional seperti jauh panggang dari api. Di usia yang semakin senja, bangsa ini  seakan tak pernah belajar dari pengalaman. Pendidikan tak ubahnya menjadi kelinci percobaan yang dijadikan sebuah obyek atas suatu kebijakan. Ketika pemerintah melakukan perubahan kebijakan. Tentu saja, masyarakatlah akan merasakan. Ketidaktepatan kebijakan dengan realitas akan menimbulkan “keganasan” pada masyarakat. Lagi-lagi yang akan menjadi penderita.

Dewasa ini, kita perlu memahami peran kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam menentukan kesejahteraan suatu bangsa. Masyarakat yang cerdas yang menjadi pilar-pilar dari masyarakat Indonesia baru adalah manusia yang terdidik dan berbudaya (educated and civilized human being). (H.A.R Tilaar,2010). Ketika hanya satu aspek saja dalam pribadi manusia maka akan menghasilkan manusia parsial, tidak bertanggungjawab, sombong. Realitas KKN saat ini, menunjukkan corak kualitas manusia yang tidak berbudaya.

Pendidikan Indonesia seakan-akan kehilangan pegangan dalam mengikat dan mempersatukan kehidupan bangsa yang tenteram adil. Kehilangan ini tak lain disebabkan ketiadaan kebhinekaan kebudayaan nusantara yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Tanpa kebudayaan, tidak mungkin seorang individu berkembang atau menjadi individu yang inovatif. Dalam kebudayaan, individu itu hidup dan berperan serta dalam perkembangan masyarakat. Kebudayaaan merupakan warisan sejarah. Kesejarahan merupakan eksistensi kemanusiaan.

Kebudayaan di jadikan instrumen penting dalam pendidikan karena berisikan nilai-nilai budaya bangsa. Tempat berpijak bagi masyarakat dan individu untuk belajar. Selain Kebudayaan berkembang, pendidikan memiliki andil menjadi salah satu pengembang kebudayaan tersebut.  Itulah sebabnya pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, seperti “dua keping mata uang” yang keduannya saling memaknai.

Bila kita menengok pada masa revolusi kemerdekaan, the founding fathers  kita di dalam BPUPKI dan PPKI (28 Mei 1928/22 Agustus 1945), telah merumuskan dengan jelas tempat kebudayaan nasional di dalam pendidikan nasional. Pertama, pendidikan nasional bersendi kepada nilai-nilai agama dan kebudayaan bangsa menuju kepada keselamatan dan kebahagiaan. Kedua, kebudayaan bangsa tumbuh dan berkembang sebagai hasil usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kedua butir ini tampak jelas dalam pembukaan, batang tubuh, maupun di dalam penjelasan pasal dalam konstitusi.


Rasa syukur pada yang maha esa, gotong royong, musyawarah, rasa hormat kepada sesama, serta empati merupakan nilai-nilai budaya dalam pendidikan yang hendak di bangun kembali. Semestinya menjadi orientasi dalam pengembangan pendidikan nasional. Kebudayaan dalam pendidikan sebagai ruh dalam pendidikan bangsa. Mengembangkan nilai-nilai budaya yang dimiliki agar jangan sampai nilai-nilai budaya yang dimiliki bangsa ini menjadi punah. Sebab, kegagalan pendidikan nasional suatu negara diakibatkan oleh punahnya nilai-nilai budaya bangsa sendiri.

Menurut teori Vygotsky, fondasi yang utama dari perkembangan kognitif (bepikir) manusia adalah unsur-unsur lokal (kebudayan nasional). Dalam kehidupan yang semakin global, perkembangan kognitif generasi muda merupakan unsur terpenting. Pendidikan harus mampu mengindonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi insan Indonesia. Oleh karena itu, proses pendidikan menuntut adanya hubungan dengan lingkungan, menuntut adanya pengenalan dan apresiasi dengan budaya lokal.

Aktualisasi pendidikan nasional mengisyarakatkan, bahwa tanggungjawab pendidikan tak hanya dipikul oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat. Bersama-sama memiliki kepedulian demi keberhasilan pencerdasan bangsa. Bahwa dalam pendidikan nasional kita, kebudayaan memiliki andil, sesuai peranannya sebagai pemersatu bangsa. Akhirnya, pendidikan bangsa Indonesia bukan hanya pelajaran atau ilmu pengetahuan tetapi lebih esensial ialah nilai-nilai kebudayaan lokal menjadi fondasi utama proses pendidikan bangsa Indonesia.

Jumat, Januari 11, 2019

Memaknai Profesi Notaris Zaman Now

google.com/foto
Maraknya sejumlah perguruan tinggi membuka program studi kenotariatan tidak lepas dari besar-nya minat menjadi notaris. Kini, di Indonesia terdapat 37 perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang membuka program studi kenotariatan (Tempo.co,19/2/2018). Bagi perguruan tinggi, ini merupakan peluang pemasukan. Hanya saja, apakah perguruan tinggi benar-benar mengejar kualitas kelulusan ataukah hanya mementingkan kuantitas-nya ?.

Berbicara kualitas tentu kita berbicara masalah mutu sedangkan kalau kuantitas biasanya berbicara jumlah. Kualitas seorang notaris tergantung pada perguruan tinggi tempat ia belajar. Jika perguruan tinggi itu tidak bagus, tentu berdampak pada lulusan-nya atau sebaliknya. Berkaitan dengan kuantitas, jumlah notaris di Indonesia masih belum memenuhi. Sejumlah wilayah Indonesia timur, masih sangat kekurangan tenaga notaris. Jadi hal ini, amat penting dan berhubungan dalam melahirkan seorang notaris yang handal dan dikehendaki secara hukum.

Notaris “Zaman Now”
Istilah “zaman now” bukan sesuatu yang asing bagi kita saat ini. Frase “zaman now” menggambarkan keadaan sekarang, terkini dan yang menjadi trending. Frase ini telah diikuti berbagai kata lain, misalnya siswa zaman now, gubernur zaman now dan lain-lain. Tidak tertutup kemungkinan pemakaian frase zaman now dapat dikaitkan dengan notaris “zaman now” sesuai dengan yang kita bicarakan.

Notaris zaman now, menurut penulis harus bisa memudahkan dan membantu urusan para pihak sesuai aturan yang berlaku. Mengedepankan keilmuan, pengetahuan dan pengalaman. Mampu dalam membuat segala berkaitan dengan wewenang dan tugasnya, agar didapat notaris yang berkualitas dan benar-benar bisa membantu masyarakat sekarang.

Profesi notaris, sebagaimana layaknya profesi lain-nya yang merupakan profesi atas kepercayaan. Diangkat sebagai pejabat negara oleh negara untuk mengemban tugas untuk melayani masyarakat, mengutamakan pelayanan daripada imbalan yang diterimanya. Sebab, kepentingan masyarakat merupakan sifat dari profesi notaris demi mewujudkan kepentingan umum.

Selain itu, ada kaidah-kaidah pokok dalam profesi sebagai notaris (C.S.T. Kansil). Pertama, profesi ini merupakan suatu pelayanan. Kepentingan para pihak dan umumlah yang terutama, bukan kepentingan sendiri. Kedua, notaris harus profesional. Didasari oleh nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan notaris dalam berbuat. Sayangnya, dalam praktek masih ada oknum notaris yang membuat akta bertentangan dengan prinsip-prinsip ketentuan yang berlaku dalam menuangkan kehendak para pihak kedalam suatu akta otentik.

Ketiga, seorang notaris selalu ber-orientasi kepada masyarakat secara keseluruhan bukan secara parsial. Keempat, mengutamakan solidaritas antar sesama rekan-rekan se-profesi notaris sehingga tidak menimbulkan persaingan tidak sehat demi meningkatkan mutu pengemban profesi notaris kedepan.

Bahwa perlu kita ingat profesi sebagai notaris memiliki tanggungjawab atas pekerjaan-nya kepada masyarakat yang merupakan pengguna jasa notaris. Kehadiran notaris, memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata. Bertanggungjawab melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata. Ternyata akta itu dapat dibuktikan, dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk tanggungjawab notaris kepada masyarakat dan hukum.

Seorang notaris bisa disangka melakukan tindak pidana tersebut baik sebagai pelaku maupun turut-serta atau pembantu kejahatan. Jika menjalankan kewenangan dan kewajiban tidak jujur, berpihak, dan tidak menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, maka ia dapat dikatakan tidak lagi menjalankan jabatan notaris, dan dapat diminta mempertanggungjawabkan secara pidana.

Pemidanaan pada perbuatannya, berdasarkan pembuktian unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa) notaris tersebut.Menurut lubbers (dalam bukunya Het Notariaat), bahwa notaris tidak hanya mencatat saja (kedalam bentuk akta), tapi juga mencatat dan menjaga. Mencatat saja tidak cukup, harus dipikirkan bahwa akta itu harus berguna dikemudian hari jika terjadi keadaan yang khusus (masalah). Ini menyangkut akta, terhadap pembuat akta otentik yang berkaitan dengan segala perbuatan dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau kehendak pihak yang bersangkutan.

Selanjutnya, memberikan penyuluhan hukum merupakan kewajiban seorang notaris (pasal 15 ayat 2 huruf e undang-undang jabatan notaris). Penulis berpendapat kewenangan ini semestinya ditetapkan sebagai kewajiban notaris. Kenapa ?. Agar tindakan hukum penghadap atau para pihak paham dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan. Memberikan nasehat hukum yang sesuai dengan permasalahan yang disampaikan oleh para pihak. Kemudian dituangkan ke dalam suatu akta tetap sebagai kehendak para pihak yang bersangkutan sesuai aturan hukum, bukan kehendak atau pernyataan dari notaris.

Terakhir, sepanjang seorang notaris sudah bertanggung jawab menjalankan sesuai kehendak para pihak dan sesuai undang-undang, pasti tidak akan takut. Orang yang takut biasa-nya yang berbuat salah. Memang tidak semua orang (masyarakat) mengerti akan tugas seorang notaris, misalnya : bagaimana membuat akta otentik sesuai dengan aturan yang berlaku serta sampai sejauh mana pengaruhnya dihadapan pengadilan. Sikap kehati-hatian, penguasaan ilmu hukum serta dedikasi tinggi terkait peraturan jabatan notaris itu penting untuk sekarang dan kedepan. Karena peranan seorang notaris akan semakin kokoh dan pemberian jasanya merupakan sumbangan yang sangat berarti dalam mewujudkan pembangunan bangsa.

Terbit di koran padang ekspres, 26 April 2018

Minggu, November 05, 2017

Penguatan Desa Menuju Kesejahteraan

Melihat Indonesia dengan hati nurani, harus sungguh-sungguh mewujudkan dengan mengagendakan dan menyelesaikan persoalan sosial (kemiskinan, penggangguran, keadilan dan sebagainya) dalam masyarakat. Maksudnya, janganlah masalah sosial dalam masyarakat hanya dipikirkan sambil lalu, sedangkan masalah inflasi atau birokrasi misalnya, dipikirkan sampai tidak tidur beberapa hari hanya karena aspek ketakutan pada atasan kerja.

Persoalan sosial dalam masyarakat masih terus menghantui negara kita. Diperlukan sikap yang dilandasi hati nurani. Alangkah eloknya, pemerintah berkomitmen “untuk membangun indonesia dari pinggiran” sesuai dengan program nawacita presiden Jokowi Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla.
Berbicara mengenai pinggiran, justru berkait dengan manusianya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pinggiran diartikan sebagai bagian (daerah) yang di pinggir, tepi atau perbatasan. Daerah yang dimaksud disini adalah suatu tempat ada keadaan alam, tidak ada gedung-gedung. Berarti dapat kita simpulkan itu yang dinamakan desa.
Pusaran kemiskinan di desa masih tentang realitas kehidupan masyarakat. Sejak dulu hingga sekarang tak kunjung usai. Tampaknya menjadi warisan yang turun-temurun. Menjadi penghambat kemajuan dan “pekerjaan rumah” yang terus-menerus. Tiada henti.

Masalah di desa
Melihat karakteristik kemiskinan di indonesia khususnya desa (bambang Widianto:2012), dapat di gambarkan sebagai berikut: pertama, sebagian besar penduduk rentan dengan kemiskinan. Banyak penduduk berpenghasilan di sekitar garis kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) secara nasional, mistar ukur garis kemiskinan sebesar Rp 361.496,- per bulan. Kedua, kemiskinan merupakan masalah yang multidimensi yang masih terbatas seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, pekerjaan, transportasi.

Ketiga, adanya ketimpangan yang besar antar wilayah, baik provinsi maupun antar pedesaan-perkotaan. Misalnya, ketiadaan listrik, masyarakat desa masih menggunakan
alat-alat tradisional dalam penerangan maupun rumah tangga, akses komunikasi dan informasi lambat diterima bahkan tidak ada (belum merata), terbalik dengan kota. Keempat, pengeluaran terbesar adalah untuk belanja makanan (kebutuhan pokok). Harga bahan pokok terjadi gejolak, menjadi kunci terjadinya kemiskinan. Kelima, mayoritas masyarakat bekerja di sektor pertanian sebagai petani dan buruh. Ketidakadaan keahlian untuk melakukan profesi lain. Kecenderungan masih bersikap pasif untuk melakukan sesuatu.

Pentingnya modal sosial dalam pembangunan desa
Dahulu, di masa perjuangan nasional indonesia yang dilakukan Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol dan pejuang lainnya, ternyata berbasis dan ditopang oleh desa (B.N. Marbun : 2000). Inilah yang menyebabkan dapat memperjuangkan bangsa dapat berlangsung bertahun-tahun dari penjajahan. Begitu besar pengaruh desa sebagai tulang punggung perjuangan kemerdekaan silam.
Sekarang, pasca reformasi eksistensi desa direduksi menjadi bagian dari wilayah atau daerah kabupaten/kota yang pengaturannya yang awalnya dari UU No 22/1999 tentang pemerintah daerah. Eksistensinya “redup”. Namun sekarang, dengan lahirnya UU Desa , memberikan cahaya untuk membuka kembali eksistensi desa. Penopang kesejahteraan, selayaknya ketika zaman perjuangan kemerdekaan silam.

Tahun ini, dana desa terjadi kenaikan. Tahun 2016 lalu saja, sebesar Rp 46,9 triliun untuk 74.754 desa menjadi Rp 60 triliun yang diperuntukan 74.954 desa, dan bahkan tahun depan 2018, anggarannya akan dinaikan dua kali lipat menjadi Rp 120 triliun (Koran Tempo, 19/10/2017). Dari dana khusus yang disiapkan, kita dapat melihat tekad pemerintah untuk bersungguh-sungguh membangun kesejahteraan melalui desa. Semoga.

Selanjutnya, kita memandang desa sebagai komunitas yang selalu menautkan pemerintah dan warganya. Upaya mewujudkan membangun kesejahteraan desa, tidak serta-merta modal fisik (dana, infrastruktur dan sumber daya alam) dibutuhkan tetapi beriringan dengan modal sosial dalam masyarakat. (soetomo, 2014:45)

Pertama, Kearifan lokal mengambarkan kemampuan masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan eksistensi kehidupan melalui berbagai bentuk, tetapi tetap nuansa upaya mewujudkan kesejahteraan bersama. Adanya kesadaran dan kemampuan yang dimiliki. Akan timbul dorongan untuk memahami tentang budaya lokal dan kondisi sosial kekinian. Sehingga bersama melakukan perubahan kearah baik.

Kedua, Prinsip harmoni dipakai bukan semata-mata kondisi yang mengandung kemakmuran ekonomi (kebutuhan fisik), melainkan menggambarkan suasana terpenuhi kebutuhan non fisik dan sosiologis. Artinya, mewujudkan kehidupan tentram, adil dan aman. Memunculkan kebanggaan dan percaya diri atas budaya sendiri. Terhindar dari pengaruh luar yang negatif. Akhirnya pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan masyarakat benar-benar harmoni untuk berjalan bersama mewujudkan kesejahteraan.

Ketiga, gotong-royong merupakan cerminan solidaritas sosial yang tinggi. Rasa kebersamaan, bekerja tanpa pamrih, dan menyelesaikan permasalahan yang hasilnya bermanfaat semua orang. Terdapat asas timbal balik, bahwa setiap individu manusia sebagai saudara, saling membantu, tolong menolong karena sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Identitas ini lah yang merupakan kepribadian bangsa indonesia. Artinya, perwujudan kesejahteraan bukan melalui tindakan individual, melainkan tindakan bersama-sama (gotong-royong).

Penutup
Adanya jaminan yuridis, bukan berarti bahwa usaha membangun desa telah tercapai. UU desa hanya merupakan pintu masuk bagi pemenuhan kesejahteraan masyarakat desa seluruh Indonesia. Selanjutnya, penguatan modal fisik dan modal sosial desa menjadi penentun keberhasilan berjalanya agenda penyelesaian masalah sosial dalam masyarakat, sehingga benar-benar kesejahteraan itu terasa dalam kehidupan masyarakat.

Mengakhiri tulisan ini, penting untuk disarikan. Melalui aturan yang jelas dan tepat, membutuhkan niat yang baik (good will) serta terjalin koordinasi dan kerjasama bersifat teknis yang baik dan benar antara pemerintah dan masyarakat di desa. Jangan sampai anggaran 750 juta sampai 1,6 milyar per desa tidak tepat sasaran yang disebabkan tidak sesuai dengan perencenaan dan aparatur pemerintah (desa) justru “gagap”. Tanpa upaya seperti ini, komitmen nawacita lebih bersifat utopis daripada realistis.

Tulisan ini dimuat di Harian Padang Ekspres, 4 November 2017

Kamis, Oktober 19, 2017

Demokrasi Menuju Pemimpin Transformasional

Sumber : Google.com
Demokrasi merupakan gagasan yang diibaratkan, bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya, diakui dan berasal dari rakyat, rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegera. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara, pada dasarnya diperuntukan bagi seluruh rakyat. Bahkan negara yang baik dan ideal adalah negara yang menyelenggarakan roda pemerintahan bersama-sama dengan rakyat, yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

Bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, diselenggarakan untuk rakyat dan oleh rakyat sendiri, serta dengan terus membuka diri dengan melibatkan seluas mungkin peran serta rakyat dalam penyelenggaraan negara. Dalam praktek pelaksanaan gagasan demokrasi itu memang sering timbul persoalan antara das sollen dan das sein, antara yang diidealkan(seharusnya) dengan kenyataan di lapangan.

Persoalan ini perlu dilakukan upaya sehingga dalam pelaksanaannya kembali selaras dan seimbang. Merujuk pada seorang ilmuan politik yang bernama Robert A. Dahl, dalam salah satu karya klasiknya, Polyarchy (1971:1-3), ia menuliskan delapan jaminan konstitusional yang menjadi syarat perlu untuk demokrasi. Pertama, adanya kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi. Kedua, adanya kebebasan berekspresi. Ketiga, adanya hak memberikan suara. Keempat, adanya eligibilitas untuk menduduki jabatan publik.

Selanjutnya Kelima, adanya hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara. Keenam, adanya tersedianya sumber-sumber informasi alternatif. Terakhir Ketujuh, adanya institusi-institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada suara–suara (pemilih, rakyat) dan ekspresi pilihan (politik) lainnya.

Sulit untuk menyakini bahwa proses demokrasi negara kita telah terjaminan seperti demikian. Sebab, kita masih terperangkap dalam suatu kebingungan yang telah mencapai titik akhir. Telah menyadarkan diri kita sendiri bahwa kita sebetulnya berada di titik bagian awal. Apakah persoalan kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan,
kepuasaan dan keinginan serta kehendak masyarakat telah terjamin di negara ini? Nampaknya, pemerintahan belum sungguh-sungguh menjalankan proses demokrasi sebagaimana mestinya, ataupun mungkin dianggap penting tetapi belum memadai, sebagaimana makna dari, oleh dan untuk rakyatnya sendiri.

Kepuasan terhadap demokrasi ditentukan oleh seberapa puas rakyat (publik) atas kinerja pemerintahan dan lembaga produk demokrasi. Untuk Mewujudkan kehendak umum atau kepuasan rakyat, dirasa perlu untuk menidaklanjuti beberapa bagian masyarakat atau setiap warga negara sesuai dengan prinsip berdemokrasi yang hanya mengungkapkan pendapat pribadi atau kepentingan pribadi, bukan kepentingan bersama (Masyarakat). Tindakan ini, merupakan cara yang boleh dilakukan demi kemantapan kehendak umum atau kepuasan rakyat. Selain itu, hadirnya sosok pemimpin yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat-nya, juga memiliki peranan penting dalam mewujudkan kemantapan berdemokrasi saat ini.

Pemimpin Transformasional
Dalam studi kepemimpinan, pemimpin transformasional dapat kita katakan pemimpin yang mempunyai visi masa depan dan menolak transaksi politik jangka pendek. Pengertian pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara tertentu, merasa dipercayai, dihargai, loyal dan termotivasi untuk peningkatan pekerjaan atau melakukan sesuatu lebih baik sebagaimana yang diharapkan (swandari, 2003:93-102).

Bahwa pemimpin ini menularkan efek transformasi pada tingkat individu dan organisasi. Bass dan Avolia (1994) dalam buku Improving Organizational Efektiveness through Transformasional Leadership, kepemimpinan transformasional dicirikan oleh The three I’s (Tiga huruf ‘I’). Pertama, pemimpin yang memiliki idealized influence, rakyat dibuat berdecak kagum, hormat dan percaya. Tak ada elemen masyarakat, apalagi tokoh-tokoh agama dan cendikiawan yang menuduh pemimpinya sedang melakukan politik kebohongan atau tidak membelakangi rakyatnya sendiri.
Bahwa ia tidak sedang bersandiwara.

Kedua, pemimpin yang mampu menggelorakan inspirational motivation, menyuntikan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan harapan menjadi kenyataan dalam masyarakat. Tak hanya mengaum di atas podium dan pintar berwacana, tetapi juga cakap dalam bekerja. Bukan hanya pintar bersolek di depan kamera atau berdandan di baliho-baliho atau spanduk pada masa pemilukada seperti saat ini.

Terakhir ketiga, intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan kaya akan ide-ide baru dan terobosan. Tak sekedar hadir disetiap serimonial, tetapi hadir dalam setiap percakapan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya sendiri. Mengatasi kebuntuan yang terjadi. Pada intinya pemimpin tidak membangun benteng pemisah antara rakyat yang dirinya. Itulah pemimpin yang dikatakan dari, oleh dan untuk rakyat.

Sekarang saatnya, kita untuk melakukan refleksi, sudahkah kita menjalankan prinsip-prinsip berkehidupan berdemokrasi. Apakah pemerintah telah menjalankan dan memadainya? Dan apakah pemimpin-pemimpin yang hadir sekarang telah menerapkan gaya pemimpin yang transformasioanal yang inspiratif dan autentik dari, oleh dan untuk rakyat indonesia?. Jawabannya kembali pada kita, dan tentu negara sebagai penguasa wajib menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Tak terasa gelaran pesta demokrasi sudah dekat yakni pilkada 2018, dan setahun kemudian pemilu 2019. Semoga pesta demokrasi ini membangun kerja sama dan kebersamaan dalam kehidupan sehingga melahirkan pemimpin yang dari, oleh, dan untuk rakyat. Bukankah, ini yang kita harapkan bersama.

Tulisan ini dimuat di Harian Padang Ekspres, 18 Oktober 2017

Sabtu, September 23, 2017

Mendorong Pembaharuan Lapas

google.com/foto
Sesungguhnya filosofi keberadaan lembaga pemasyarakatan (Lapas) bukan cuma melaksanakan sistem peradilan pidana, melainkan merupakan wadah pembinaan narapidana. Memulihkan kondisi narapidana, agar menjadi warga yang baik dan diterima kembali ditengah-tengah masyarakat. Sayangnya, sekarang menjadi tempat persemaian kejahatan yang berlipat-lipat. Tempat menambah ilmu, keahlian dan melakukan perbuatan kejahatan meskipun “dikungkung” terali besi. Sebab persoalannya sangat komplek, baik secara kualitas maupun kuantitasnya.

Kejadian yang terjadi di Lapas Muaro Sijunjung (Harian Haluan, 18/9/2017) beberapa waktu lalu, laksana cermin “retak” terhadap pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam Lapas. Sehingga perlu dikaji ulang bagaimana seharusnya pelaksanaan sistem pemasyarakatan saat ini. Sebab, sistem pemasyarakatan ialah satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, yang pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.

Merujuk pada pasal 2 UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan arah, batas, dan cara pembinaan warga binaan berdasarkan Pancasila untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,berperan dalam pembangunan, dan hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Institusi penegak hukum dan masyarakat yang memiliki kewajiban atau memiliku peran penting untuk mendidik, membina dan membimbing narapidana agar menjadi manusia taat hukum dan berguna sehingga tak terulang kembali melakukan salah dimata hukum.

Patokannya adalah Pancasila, sebeb dijadikan sebagai dasar untuk melaksanakan pembinaan dengan upaya mewujudkan kualitas dan kuantitas terhadap warga binaan ke arah yang baik dan berguna dalam masyarakat kembali. Timbul pertanyaan, apakah perwujudan
Terbit di koran haluan padang tanggal 22 september 2017
terhadap prinsip-prinsip Pancasila dalam sistem pemasyarakatan saat ini telah di terapkan? Ataukah sebagai “hiasan belaka” saja. Ini terjawab akan terjawab oleh penegak hukum dan masyarakat.

Menjadi Catatan
Sorotan lainnya adalah para petugas/sipir dalam mengemban tugas di Lapas. Menurut Pengamat lembaga pemasyarakatan Ali Aranoval mengatakan, bahwa permasalahnnya adalah sistem, harus melakukan pembinaan dan pelatihan kepada para petugas/sipir. Ini berkaitan dengan kinerja petugas/sipir dalam mengaplikasikan perbuatan dan tingkah laku. Menciptakan profesional dan integritas petugas/sipir Lapas dan Rutan menjadi agenda terpenting (dalam hal membina narapidana).

Menelitik hal tersebut, ada beberapa persoalan yang penting kita ketahui dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan/ pembinaan saat ini. Pertama, masih lemah kapasitas petugas/sipir. Acap kali pengembangan kapasitas hanya dilakukan sekali selama bekerja. Akibatnya, perbuatan-perbuatan yang terjadi disebabkan oleh kesalahan sendiri (human error) yakni kurang kewaspadaan dan kehati-hatian dalam mengemban tugas. Solusinya adalah perlu di-charge (ditingkatkan) pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan. Lain sisi, mesti ada dukungan anggaran sehingga dapat melakukan pelatihan dan pendidikan bagi petugas/sipir di seluruh Indonesia dalam bertindak sesuai dengan jargonnya “PASTI” (profesional,akuntabel, sinergi, transparan, inovatif)

Kedua, sistem koordinasi terhadap pengawasan yang kurang baik. Adanya narapidana yang menjadi kendali peredaran transaksi narkoba yang acapkali melibatkan petugas/sipir, atau yang baru ini terjadi melakukan penganiayaan pada petugas/ sipir dan berhasil melarikan diri. Hal ini menunjukan adanya pengawasan dan pengawalan internal yang ditenggarai longgar bahkan tidak sesuai dengan semestinya.

Ketiga adalah komitmen petugas/sipir merupakan faktor penyebab utama. Dimulai dengan godaan-godaan narapidana pada petugas/sipir untuk meloloskan dan mempermudah mendapatkan fasilitas yang diinginkannya, atau menjalakan aksinya. Minimnya integritas para petugas yang menyebabkan melemahnya komitmen petugas/sipir. Besaran gaji petugas/sipirperlu dikaji ulang. Semakin hari Lapas dihuni orang-orang berasal kasus-kasus berat dan banyak duitnya. Jika tidak dimiskinkan orang tersebut, petugas/sipir akan menjadi korbanya.

Terakhir Keempat, mengenai jumlah petugas/sipir Lapas. Saat ini mayoritas jumlah petugas/sipir Lapas dan Rutan di Indonesia masih rendah, dibawah standar. Idealnya, menurut Keputusan Ditjen Pemasyarakatan No. PAS-146.PK.01.04.01 tahun 2015, minimal 20 orang petugas/sipir yang berjaga per shift. Rasio jumlah petugas saat ini tak sebanding dengan jumlah narapidana dan tahanan yang. Contohnya : Kejadian di Lapas Muaro Sijunjung, minggu (17/9) sore hari, hanya berjumlah 5 orang petugas/sipir yang sedang melakukan tugas (padang ekpress, 19/9/2017). Sementara jumlah narapidana berjumlah 300 orang, berbanding terbalik dengan kapasitas yang semestinya yakni 155 orang (harian haluan, 18/9/2017). Kondisi inilah yang menjadi problema dari waktu ke waktu .

Penutup
Keseluruh hal diatas, akan menjadi faktor penyebab dalam menentukan berhasil atau tidaknya kinerja sistem pemasyarakatan. Dikatakan bermasalahan karena tidak adanya kesatuan kerja yang baik meskipun dikatakan sistem yang sekarang adalah sistem yang “integrited”. Permasalahan lain yang kiranya belum maksimal dilakukan adalah pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) para petugas Lapas. Minimnya anggaran, jumlah petugas/sipir, pembinaan dan kesejahteraan kepegawaian, pola rekrutmen yang berhubungan dengan pendidikan dan pelatihan dalam upaya peningkatan profesionalitas, integritas, dan akuntabilitas dalam sistem pemasyarakatan.

Catatan penting demikian sudah sepatutnya dijadikan dorongan untuk pembaharuan sistem pemasyarakatan/pembinaan saat ini. Seyogianya, menjadi tempat membina, mendidik dan membimbing narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa, dan hidup secara wajar kembali di tengah-tengah masyarakat baik pembina maupun yang dibina. Ada papatah, “bila ingin menyapu lantai yang kotor, gunakanlah sapu bersih, sebaliknya mana mungkin membersihkan lantai yang kotor kalau sapunya kotor, dan yang memegang sapu juga tak kalah kotornya” Jadi sebelum membersihkan lapas, pastikan dulu semuanya bersih.

Tulisan ini dimuat di Harian Haluan,22 september 2017

Kamis, Oktober 20, 2016

Harapan Menuju Birokrasi Bersih

google.com/foto
Buruknya kinerja aparatur negara sudah jamak diketahui orang. Hal inilah yang menjadi tuduhan oleh banyak pihak sebagai biang keladi dari keterpurukan bangsa ini. Prestasi negara yang korup, konon disebabkan oleh bobroknya perangkat birokrasi yakni aparatur negaranya. Kejadian yang terjadi beberapa hari belakang, tertangkap tangannya 3 (tiga) orang oknum pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Perhubungan yang melakukan pungutan liar (pungli) terhadap pengurusan perizininan. Lantas, apakah perangkat negara saat ini sudah “tidakbecus” lagi dalam menjalankan tugas negara sebagaimana mestinya? Mungkin dengan kejadian demikian, jawabannya tentu saja tidak.

Menelisik benang merah dalam garis pelaksanaan pelayanan publik oleh aparatur negara, antara Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) di satu sisi dengan hukum dan kewenangan/kekuasaan pada sisi lainnya, jelas terlihat manakala implementasi aturan/hukum sudah bersikap diskriminasi. Dalam hal penegakan aturan pejabat publik maupun aparatur negara melakukan domainnya untuk me-legal-kan upaya KKN tersebut, sehingga seakan-akan tidak tersentuh oleh hukum mengingat kedudukan dan kewenangannya atas suatu kebijakan itu.

Sejatinya kehendak hukum sebagai supremasi dari negara yang berasaskan hukum mesti didorong oleh pembaharuan hukumnya. Menurut Lawrence M. Friedman, ada 3 (tiga) aspek pendekatan untuk membangun pembaruan hukum dalam suatu sistem hukum, dalam hal ini berkaitan dengan pelayanan negara, antara lain : segi struktur (stucture), substansi (substance), dan dari segi budaya hukum (legal culture) yang kesemuanya layak atau mesti berjalan secara integral, simultan dan paralel.

Pertama, dari segi structure (struktur) yang meliputi perbaikan segala institusi atau organ-organ yang menyelenggarakan tata kelola birokrasi yang lebih baik, sehingga meminimalisir terjadinya terjadinya penyimpangan (pungli, diskriminasi dan lainya). Pungli dan diskriminasi dalam layanan publik cendrung menampakkan sisi gelap dari birokrasi. Pemanfaatan untuk kepentingan pribadi yang mengatasnamakan instansi tempat aparatur negara itu bernaung. Selain itu, ketidakpuasan-ketidakpastian-pengabaian hak dan martabat masyarakat seringkali terabaikan ketika tidak melakukan hal demikian.

Kedua, substance (substansi) yang menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat aturan atau ketentuan normatif, pola dan kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum yang menyangkut tata kelola pelayanan publik. Pada era reformasi ini, pembaharuan terhadap substansi hukum mengarah kepada pendekatan kemasyarakatan. Ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara merupakan perangkat normatif yang akomodatif dan berorientasi pada pendekatan masyarakat. Menghindari semaksimal mungkin segala bentuk penyimpangan dalam penyelenggara negara ini.

Sebaliknya, sebelum proses pelayanan publik berjalan, kewenangan dan kekuasaan masih menempatkan aturan/hukum sebagai komoditas ekonomi, bahkan dijadikan tempat meraup keuntungan. Kasus Pungutan liar (pungli) 3 (tiga) oknum pegawai negeri sipil Kementerian Perbubungan terkait dengan perizinan maupun oknum polisi yang melakukan pungli dalam pembuatan/perpanjangan SIM di sejumlah gerai di Jakarta mencerminkan aturan atau hukum hanyalah sebagai roda bergulirnya kewenangan dan kekuasaan untuk meraup keuntungan pribadi.

Ketiga, Legal culture (budaya hukum) merupakan aspek yang penting yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan-ketentuan sebagai pola pikir sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar pentingnya hukum sebagai regulasi umum. Budaya hukum erat kaitannya dengan etika dan moral masyarakat dalam menyikapi perilaku menyimpang yang dilakukan oknum-oknum penyelengaran pemerintah. Masalah rendahnya moral dan budaya hukum inilah yang sangat penting untuk ditumbuhkan negara. Jika tidak akan menganggung struktur dan substansi secara keseluruhan. Masyarakat sebagai penerima manfaat layanan birokrasi harus sadar dan mengerti bagaimana seharusnya layanan ini diberikan.

Pada akhirnya, memasuki 2 (dua) tahun kepemimpinan presiden Jokowi dan wakil presiden Jusuf Kalla, keberadaan aparatur sipil negera/ pihak terkait yang memberikan layanan publik sangatlah penting, antara lain menjadi pelaksana kebijakan pemerintah untuk warga negaranya. Mewakili negara melakukan fungsi-fungsi dalam pelayanan publik. Di sisi lain, pembaharuan terhadap tata kelola birokrasi juga sangatlah penting. Ketidakseimbangan struktur, substansi dan budaya hukum, akan menghasilkan erata (kesalahan) yang menimbulkan kembali penyimpangan-penyimpangan dalam pelayanan terhadap publik. Semoga terbangunnya good governance dalam pelayanan birokrasi.

Tulisan ini dimuat di Singgalang, 19 Oktober 2016

Kamis, Februari 11, 2016

Di Balik Bencana Alam

google.com/foto
Malapetaka bencana alam kembali terjadi. Hujan yang menguyur sejak hari jumat (5/2) mengakibatkan terjadinya banjir dan longsor di Kota Solok, Kabupaten Agam, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Limapuluh Kota dan sejumlah daerah di Provinsi Sumatera Barat, menjadikan ranah minang situasi tanggap darurat (detik.com 8/2). Ratusan rumah terendam banjir, jalan tertimbun longsor serta jembatan terputus. Tak salah, bahwa negeri kita sering disebut sebagai negeri bencana. Bencana datang silih berganti. Ketika musim kemarau kebakaran hutan dan lahan, musim hujan kebanjiran dan tanah longsor. Begitu malangnya negeri ini.

Seringkali kebakaran hutan dan lahan, banjir dan tanah longsor disebabkan oleh keserakahan manusia. Keserakahan membabat hutan demi keuntungan ekonomi semata tanpa memandang risiko-nya. Sebab itu, ketika saat hujan datang, tidak ada lagi pohon yang menahan laju air sehingga tanah bergerak dan sungai-sungai meluap, terjadilah banjir dan tanah longsor. Kondisi ini yang menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan hidup.

Kerusakan lingkungan hidup dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah “perubahan langsung dan/ atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/ atau hayati lingkungan hidup melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Ketika adanya tindakan merusak yang menimbulkan perubahan terhadap lingkungan, secara otomatis akan berakibat tidak berfungsi kembali lingkungan sebagaimana mestinya.

Dalam memahami kerusakan lingkungan. Ada dua hal pokok yang mestinya untuk kita pahami (A.Sonny Keraf, 2010:47). Pertama, kita perlu menggambarkan secara komprehensif kerusakan lingkungan dalam berbagai aspek. Sekaligus menunjukkan magnitude (besar-nya) ancaman yang terjadi. Bencana alam seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir dan tanah longsor menimbulkan ancaman bagi kehidupan dan keamanan manusia, baik materil maupun non-materil.

Sebagai contoh sederhana. Kalau udara tercemar dan air juga tercemar. Ini tidak lain akan menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Udara dan air adalah vital bagi kehidupan sekaligus simbol kehidupan. Jika langka ataupun tercemar itu berarti kehidupan benar-benar terancam. Jadi, itulah sebabnya kerusakan lingkungan adalah ancaman nyata bagi kehidupan manusia di muka bumi ini.
Kedua, melakukan tindakan yang menimbulkan kerusakan lingkungan, dapat juga disebut sebagai kejahatan terhadap lingkungan. Meskipun dilakukan secara langsung maupun tidak, jelas-jelas akan membawa dampak yang mengancam dan mematikan kehidupan makhluk hidup, termasuk kehidupan manusia itu sendiri. Ini adalah kriminal. Istilah-nya, “crime againt humanity”.

Selain itu, menimbulkan dampak sosial. Fenomena dampak sosial bukan hal yang “mengada-ada”. Dalam hal ini, dampak sosial mempunyai dimensi yang luas, baik di bidang kesehatan, sosial-ekonomi, politik, maupun budaya. Ujung-ujungnya ialah kehidupan manusia-lah yang paling rentan menjadi korban.

Penyebab Bencana Alam
Setidaknya ada dua faktor utama penyebab terjadinya bencana alam. Pertama, faktor internal, yang berasal dari alam. Hal ini diterima sebagai musibah bencana alam, seperti : gempa bumi, letusan gunung berapi, badai dan lain sebagainya. Kedua, faktor eksternal yang diakibatkan oleh ulah manusia, seperti : pembakaran hutan dan lahan, eksploitasi tambang, dan lain-lainya. Perilaku manusia yang eksploitatis, rakus dan tamak menguras alam merupakan faktor utama dan besar pengaruhnya.

Selain itu, penyebab lainnya adalah buruknya tata kelola pemerintah juga merupakan faktor pendukung. Mengapa demikian?. Pertama, terjadi berbagai praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang melanggar aturan, sehingga berunjung pada rusak dan hancurnya lingkungan. Mengejar kepentingan ekonomi jangka pendek telah membutakan mata pemerintah dari dampak lingkungan yang mengancam kehidupan di muka bumi ini.

Kedua, lemahnya kontrol pemerintah baik secara formal di antara berbagai pemegang kekuasaan yang ada maupun non-formal melalui masyarakat. Terakhir ketiga, pemerintah
sebagai penegak hukum seringkali gagal memainkan peran sebagai penjaga, penjamin tegaknya hukum, penjamin kepastian hukum demi kepentingan bersama akan lingkungan yang baik dan sehat.
Beranjak dari hal itu, ke depan kita harus mengubah paradigma atas muncul keprihatinan mengenai bencana alam yang terjadi sekarang. Kesalahan selama ini adalah lebih berfokus dan mengutamakan pembangunan ekonomi. Kendatinya membawa kemajuan ekonomi, tapi terbukti membawa kerugian dalam bentuk bencana alam. Menyisakan berbagai problem kesehatan, sosial dan politik kehidupan masyarakat.

Penutup
Di usia yang semakin senja, bangsa ini seolah-olah tidak pernah belajar dari pengalaman. Lingkungan tak ubahnya menjadi eksploitasi ekonomi yang dijadikan sebuah obyek atas sebuah kebijakan. Ketika pemerintah membuat kebijakan yang tidak pro-lingkungan. Tentu saja, masyarakatlah yang akan merasakan. Menimbulkan bencana alam dan lagi-lagi yang akan menjadi penderita atau korban.
Di balik bencana alam ini, kita mesti mengambil hikmah dan kembali bersama-sama mencintai alam ini. Beban ini tak hanya dipikul oleh pemerintah, tapi masyarakat juga memiliki andil. Memulai dengan niat dan kesungguhan hati untuk komitmen peduli terhadap lingkungan, tanggung jawab moral dari mereka pelaku yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Sekali lagi perlu diingatkan bahwa planet bumi yang dihuni manusia hanya satu, jangan sampai rusak dan membawa bencana kembali bagi kelangsungan hidup manusia.

Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, 10 Februari 2016

Jumat, Januari 22, 2016

Memerangi Terorisme Melalui Pendidikan

google.com/foto
Peristiwa teror yang terjadi di depan gedung Sarinah, Jalan MH. Thamrin Jakarta pada Kamis (14/1) merupakan ancaman terhadap kemaslahatan dan ketertiban bangsa Indonesia. Menyebabkan nyawa manusia meninggal, luka-luka, dan menimbulkan kerugian baik materil maupun non-materil. Sejatinya, menjadi refleksi terhadap berbagai bidang dalam kehidupan. Salah satunya adalah melalui pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya bukan sebuah penyiapan untuk hidup, tetapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Sebagai pencegah dan penentu peranan manusia dalam berbuat, bertindak terhadap apa yang benar dan apa yang salah.

Budaya dalam Pendidikan
Dewasa ini, kita perlu memahami peran kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam menentukan kesejahteraan kehidupan bangsa. Masyarakat yang cerdas yang menjadi pilar-pilar dari masyarakat Indonesia baru adalah manusia yang terdidik dan berbudaya (Tilaar,2010). Ketika hanya satu aspek, yang terjadi adalah pribadi manusia akan menghasilkan manusia parsial, melakukan perbuatan menyimpang, sombong, radikal dan sebagainya. Ini menunjukkan corak manusia yang tidak berbudaya.

Pendidikan Indonesia seakan-akan kehilangan pegangan dalam mempersatukan kehidupan bangsa yang tenteram dan adil sehingga menimbulkan aksi teror yang terjadi pada beberapa waktu lalu. Sebab, pendidikan yang berbudaya telah menipis ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Mengapa demikian?. Karena, kebudayaan merupakan instrumen penting dalam pendidikan karena berisikan nilai-nilai budaya bangsa dan nilai luhur bangsa. Ibarat “dua keping mata uang” yang keduannya saling memaknai, yang tidak terpisahkan.

Pada masa revolusi kemerdekaan, the founding fathers kita di dalam BPUPKI dan PPKI (28 Mei 1928/22 Agustus 1945), dengan jelas tempat kebudayaan nasional di dalam pendidikan nasional. Pertama, pendidikan nasional bersendi kepada nilai-nilai agama dan kebudayaan bangsa menuju kebahagiaan. Kedua, kebudayaan bangsa tumbuh dan berkembang sebagai hasil
usaha budi daya rakyat Indonesia. hal ini tampak jelas dalam pembukaan, batang tubuh, maupun di dalam penjelasan pasal dalam UUD 1945.

Semestinya hal demikian menjadi prioritas dalam pengembangan pendidikan nasional. Budaya dalam pendidikan sebagai ruh dalam pendidikan bangsa. Mengembangkan nilai-nilai budaya yang dimiliki agar jangan sampai nilai-nilai budaya yang dimiliki bangsa ini menjadi punah. Sebab, kegagalan pendidikan nasional suatu negara diakibatkan oleh punahnya nilai-nilai budaya bangsa sendiri.
Bahwa pendidikan berbasis budaya menjadikan manusia sesuai peranannya sebagai pemersatu bangsa. Bukan sebagai pembuat masalah, atau menghabisi nyawa orang lain. itulah sebabnya, pendidikan Indonesia bukan hanya pelajaran atau ilmu pengetahuan tetapi lebih esensial ialah nilai-nilai budaya nusantara menjadi fondasi utama proses makna kehidupan dan kemanusiaan.

Ke arah Hak Asasi Manusia
Terwujudnya sistem pendidikan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM), diperlukan suatu strategis yang mestinya dilakukan oleh pemerintah. Menurut Pelapor Khusus PBB tentang Hak atas pendidikan dan Biro Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO, adapun kewajiban pemerintah terkait dengan Hak atas Pendidikan. Pertama, Ketersediaan (Availability). Bahwa dalam hal ini adanya jaminan wajib belajar dan pendidikan tanpa biaya oleh pemerintah dari usia sekolah sampai dengan sekurang-kurangnya telah memperoleh pekerjaan. Akibatnya kehidupan layak dan sejahtera lah yang akan didapat.

Kedua, Keterjangkauan (Accessibility). Ini berkaitan dengan tanpa adanya diskriminasi (suku, warna kulit, jenis kelamin, agama, status sosial, status ekonomi, status minoritas atau penduduk asli, serta berkemampuan kurang). Mewajibkan pemerintah untuk menghapuskan diskriminasi tersebut dengan menjamin pemberian kesempatan yang sama dalam pemenuhan hak asasi manusia dalam hal ini hak atas pendidikan, baik formal maupun informal. Melakukan pemertaan terhadap masyarakat sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan kedangkalan moralitas yang memicu konflik dan aksi teror.

Terakhir Ketiga, keberterimaan (Acceptability). Ini bersoal tentang menetapkan standar minimum pendidikan, terdiri dari bahasa pengantar, materi, metode mengajar, kurikulum. Kesemua hal itu ditujukan agar dapat terjaminnya penerapan pada lembaga pendidikan sehingga outputnya tercapai. Terjaminya penerapan sistem pendidikan harus sejalan dengan hak asasi manusia. Menghargai kehidupan sendiri dan keberadaan hidup orang lain dalam berkehidupan sesuai makna dan kehendak maha pencipta.

Penutup
Di era reformasi saat ini telah tampak menghasilkan “selfish man” atau manusia-manusia komoditi yang bersedia di bayar untuk berdemonstrasi, manusia yang suka memisahkan diri, radikalisme, separatisme, anarkis, koruptif, dll (Tilaar, 2002). Karena itulah, manusia indonesia perlu direhumanisasi melalui pendidikan berbasis hak asasi dan budaya bangsa terutama dalam pemahaman peranannya dalam berkehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Sudah selayaknya pendidikan kita kearah kebudayaan dan Hak Asasi sehingga terimplementasi dalam kehidupan. Menjauhkan manusia indonesia dari paham radikalisme yang penuh dengan warna kekerasan, ikut serta dalam kejahatan terorisme. Sehingga menciptakan manusia-manusia indonesia yang memiliki komitmen kebangsaan yang disemangati dengan berbagai latar belakang agama, yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila, harkat dan martabat manusia itu sendiri sesuai budaya asli bangsa indonesia. Terintegrasinya budaya dan hak asasi manusia ke dalam pendidikan akan menjadi fondasi utama penopang masyarakat indonesia dalam memerangi terorisme ataupun bentuk radikal lainnya.

Tulisan ini dimuat di Padang Ekspres, 21 Januari 2016

Kamis, November 26, 2015

Mendung di Hari Guru


google.com/foto
“Tak ada bangsa yang maju, sejahtera, dan bermartabat tanpa pendidikan yang baik, dan tidak ada tanpa pendidikan yang baik tanpa guru yang baik”.

Kunci utama di dalam peningkatan kualitas pendidikan adalah mutu para gurunya (pendidik). Bukan hanya mereformasi terhadap pendidikan guru, tetapi harus sejalan dengan penghargaan yang wajar terhadap profesi guru. Salah satunya ialah telah diluncurkan program sertifikasi guru sejak tahun 2005 lalu. (Padang Ekspres, 22/11/2015). Inilah upaya pemerintah untuk melakukan peningkatkan kualitas guru yang akan berbanding lurus dengan kualitas pendidikan. Namun pada kenyataannya, sudah sepuluh tahun program ini berjalan, kemunduranlah yang terjadi terhadap guru dalam mengimplentasikan ilmunya sebagai pendidik.

Krisis Kualitas Guru
Hampir 50 persen kualitas kompetensi guru merosot di tahun 2013 (Antaranews.com, 30/09/2013). Ini disebabkan masih banyak guru terutama di daerah-daerah yang tidak lulus uji kompetensi dan sertifikasi diakibatkan rendahnya kualitas mereka. Di tahun 2014, saat dilakukan uji kompetensi, guru hanya mampu menjawab 50 persen dari soal yang ada, ini berarti jauh dari batas kelulusan yang mestinya 80 atau 85. (Padang Ekspres, 22/11/2015).

Jika dikaitkan dengan penerimaan siswa tentu ini tidak paralel. Sekalipun hal ini masih sangat debatebel, tetap saja semua pihak harus memperbaiki situasi ini. Terima atau tidak, situasi ini memicu kita untuk meletakkan perbaikan. Jika tidak, guru hanya menjadi pamong negara yang acapkali dikritik, tidak profesional, pemakan gaji buta, tukang bolos.

Menurut Sudarminta dan Mujiran (2005), rendahnya mutu guru antara lain disebabkan gejala-gejala berikut: (1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan, (2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari dengan kenyataan lapangan yang diajarkan, (3) kurangnya efektif cara pengajaran, (4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid (5) lemahnya motivasi dan dedikasi menjadi pendidik yang sungguh-sungguh.

Selanjutnya, (6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik, kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik, terakhir (7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk Universitas.

Apapun itu, kita harus menyadari krisis kualitas guru akan berdampak pada pembangunan bangsa (nation building). Sebab Guru adalah unsur yang terpenting dalam sistem pendidikan, ia akan mengantarkan anak didik pada tujuan yang telah ditentukan, bersama unsur yang lain terkait dan lebih bersifat komplementatif. Anak-anak didik itulah yang akan menjadi generasi pelurus menyelamatkan hidup dan transformasi hidup negara ke arah baik.

Pendidikan Karakter Guru
Pada kesempatan ini penulis ingin mengaitkan persoalan yang dikemukakan diatas dengan pendidikan karakter yang harus dimiliki oleh seorang guru. Sebagai sebuah tawaran tentu masih dapat diperdebatkan pula, namun adakalanya dapat dipertimbangkan.
Guru dapat membantu seorang anak didik mengembangkan karakter dengan memberi contoh yang baik melalui perilaku, perkataan dan sikap sehari-hari. Intinya guru yang baik menjadi tokoh panutan bagi anak didiknya. Semua hal tersebut dimulai dengan tumbuhnya kesadaran dan kebajikan dari dalam diri seorang guru itu. Berimbas pada menciptakan suasana kelas yang nyaman bagi guru sendiri, dan membuat anak didik menjadi lebih cerdas. Guru harus lebih kreatif dan inovatif.

Dalam menerapkan pendidikan karakter, ada beberapa hal yang diperlukan. (Pendidikan Karakter di Sekolah: Dari Gagasan ke Tindakan, 2011:205). Pertama, mengembangkan pesemaian bagi guru yang berkarakter dan kompetensi. Disini lebih menekankan dalam hal lembaga pendidikan yang menghasilkan seorang calon guru untuk mengasah budi, mengasah rasa dan mengasah hati, tidak hanya mengasah otak.

Kedua, menumbuhkan guru yang berwawasan luas. Seorang guru harus memiliki wawasan yang luas, mengapa demikian? Karena pendidikan karakter di sekolah diselenggarakan dalam realitas kehidupan luas. Terakhir Ketiga, memunculkan guru yang merasakan keterpanggilan. Maksudnya guru dalam melaksanakan tugas ulet, gigih dengan ikhlas dan senang hati, tanpa mempersoalkan fasilitas tidak lengkap, daerah terpencil serta tantangan baik mental maupun fisik.

Terlepas dari kesemua itu, sangat memerlukan niat baik untuk melaksanakan segala hal demikian. Patut ditekankan bahwa pendidikan dalam meningkatkan kualitas guru
merupakan permasalahan dari hulu sampai hilir, yakni birokrat, pihak yang terkait dan guru dalam merealisasikan tujuan-tujuan bangsa ini, mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat konstitusi negara kita. “Tak ada bangsa yang maju, sejahtera, dan bermartabat tanpa pendidikan yang baik, dan tidak ada tanpa pendidikan yang baik tanpa guru yang baik”.

Penutup
Pendidikan adalah kunci penting untuk mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan. Peningkatan kualitas pendidik dan peserta didik merupakan syarat mutlak untuk mempercepat terwujudnya masyarakat cerdas dan demokrasi. Pemenuhan hak dasar warga negara atas pendidikan yang akan berguna dalam mengatasi berbagai permasalahan pembangunan bangsa.

Dan tentu saja memperbaiki kualitas guru tidak melulu dengan sertifikasi. Apapun itu, guru dibenak kita tetaplah pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi sebaliknya falsafah itu akan mengalami krisis makna ketika guru tidak menunjukan perbaikan kualitas kearah pendidikan karakter, yang sebaiknya dimulai dari guru itu sendiri. Itulah, maka tugas guru sangat mulia. Ia seorang pendidik yang mendidik etika, tatakrama, budi anak didiknya.

Ketika kualitas dan kuantitas mutu layanan pendidikan meningkat, ketika itulah pendidik ataupun peserta didik menjadi produktif dan aktif dalam proses pendidikan. Menumbuh kembangkan budi dan intelektual demi kecerdasan bangsa. Jadi dengan momentum hari guru nasional yang ke-21 dan HUT PGRI ke-70 ini, ada banyak hal yang mestinya di evaluasi terhadap guru (pendidik). Profesionalitas, kesejahteraan, dan kompotensi guru perlu menjadi catatan penting dalam meningkatkan kualitas guru dalam mengaplikasikan ilmunya sehingga tepat sasaran. Menjawab tantangan dan membuka peluang baru di era globalisasi ini merupakan tanggungjawab yang mesti dilakukan.

Tulisan ini dimuat di Harian Padang Ekspres, 25 November 2015

Selasa, November 17, 2015

Menanti Wajah Baru Kurikulum 2013

google.com/foto
November adalah bulan, dimana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menargetkan revisi Kurikulum 2013 (K-13) bisa terselesaikan. (Republika, 23/7/2015). Revisi ini terkait dengan kekusutan terhadap penerapan kurikulum 2013 dalam pelaksanaanya. Banyak praktisi pendidikan, para birokrasi dan kalangan masyarakat menyuarakan untuk mendorong merevisi Kurikulum ini. Sebab itulah, Menteri Pendidikan dan kebudayaan Anise Baswedan melakukan penghentian Kurikulum 2013, supaya K-13 dilakukan revisi agar bisa diterapkan kembali di seluruh sekolah Indonesia.

Perlu untuk direfleksikan bahwa semenjak era reformasi, kurikulum telah berubah wujud dalam skala nasional hingga lahir kurikulum 2013. Mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dan yang terakhir adalah Kurikulum 2013 (K-13). Ada kesan ketidakkonsistenan atau keragu-raguan dalam perubahan-perubahan kurikulum tersebut. Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama terjadi tiga kali perubahan kurikulum.

Masyarakat tentu bertanya-tanya ada apa sebenarnya dalam kebijakan pendidikan di Indonesia. Apakah dibangun dengan sifat “trial and error” karena adanya beberapa kali perubahan dalam waktu singkat atau kebijakan perubahan kurikulum adalah kebijakan eksistensi rezim di Kementrian Pendidikan? Lalu pembaruan seperti apa yang ditawarkan dalam Kurikulum 2013 ini.

Merubah kurikulum berarti merubah rancangan pembelajaran yang kedudukannya sangat strategis dalam proses pendidikan. Sebagai konsekuensi logis dari dunia pendidikan yang semakin hari semakin dinamis. Perubahan kurikulum adalah perubahan kebijakan yang sangat menentukan bagaimana nasib pendidikan kedepannya. Sebab kurikulum berisikan komposisi, substansi, metode, dan durasi (jangka waktu) sehingga tercapainya tujuan yang dinginkan baik mikro maupun secara makro dalam dunia pendidikan.

Enam Syarat
Memakai tesis E. Mulyasa (2004:13), keberhasilan sebuah kurikulum haruslah melalui 6 syarat. Pertama, adanya sosialisasi yang menyeluruh. Sosialisasi tersebut dimulai oleh pemerintah kepada seluruh warga sekolah, secara terstruktur dan sistematis dalam memahami kurikulum sehingga dapat diterapkan secara optimal. Disini tampak, sosialisasi berperan penting karena mempercepat penyebarluasan informasi mengenai kurikulum ini.

Kedua, selalu menghadirkan lingkungan yang kondusif. Sekolah haruslah nyaman, aman dan tertib serta optimisme diikuti oleh harapan yang tinggi. Lingkungan yang dihendaki adalah yang memancing semangat para siswa untuk menimba ilmu pengetahuan. Sekolah harus terhindar dari hiruk pikuk dunia liar yang menggangu proses pendidikan.

Ketiga, selalu mengembangkan fasilitas dan sumber belajar. Sekolah menyediakan fasilitas seperti halnya perpustakaan, laboratorium dan fasilitas dan sumber belajar lainnya untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas belajar siswa. Disinilah persoalan yang menjadi warisan kita selama ini. Pemerintah sibuk membangun gedung-gedung sekolah baru. Sementara banyak sekolah yang telah berdiri tetapi minim sarana dan prasarana. Di beberapa daerah, banyak sekolah yang belum ada buku. Bayangkan jika tidak ada buku, dipastikan proses pembelajaran akan “lumpuh”. Seyogyanya kurikulum mesti bersifat praktis dalam pelaksanaanya, alat-alat yang sederhana dan berbiaya terjangkau.

Keempat, memupuk dan selalu mengembangkan kemandirian sekolah. Kemandirian sekolah dituntut untuk bergerak, bertindak dan mengupayakan segala sumber daya pendidikan di sekolah supaya dapat melakukan pengembangan kurikulum. Nah, disinilah tanggung jawab kepala sekolah. Kepala sekolah harus berperan menjadi leader yang memimpin manajemen sekolah agar mandiri. Jangan sampai kepala sekolah menjadi “tungkek pambaok rabah”.

Selanjutnya, Kelima, meluruskan paradigma (pola pikir) guru. Pemahaman khusus perlu diberikan dalam pelatihan dan penataran tentang konsep dan pelaksanaan kurikulum yang baru. Tidak hanya menunggu kegiatan dari Kementerian. Inisiatif dari pihak sekolah untuk melakukan konsultasi berkala dengan para ahli pendidikan terhadap kurikulum agar guru sebagai pihak yang berinteraksi dengan peserta didik lebih mudah menjalani proses pembelajaran di kelas karena telah mengerti dan paham mengenai kurikulum tersebut.

Terakhir, Keenam memberdayakan semua tenaga kependidikan. Seorang guru diharapkan mampu menguasai bidang ilmu yang diajarkan dan memiliki kompetensi pedagogik agar dapat menjadi pendidik berkualitas. Guru sebagai ujung tombak dalam dunia pendidikan harus mampu menjadi inspirator bagi peserta didik. Jika guru tidak maksimal, kurikulum hanya akan menjadi lembaran demi lembaran kertas yang mati.

Tujuan utama dari keenam syarat ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran dari peserta didik. Sehingga tiap peserta didik terdorong untuk mencari informasi/pengetahuan melalui berbagai cara atau melalui media. Targetnya adalah meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa untuk aktif. Siswa bukan lagi menjadi obyek tapi justru menjadi subyek dengan ikut mengembangkan tema yang ada di sekolah maupun lingkungan saat ini.

Penutup
Niat pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan perlu kita dukung. Negara yang maju ditentukan oleh pendidikan rakyatnya. Amartya Sen, seorang peraih nobel bidang
ekonomi tahun 1998 pernah mengingatkan, “bangsa yang tidak cerdas akan sangat mudah jatuh ke dalam jurang kemiskinan dan sangat mudah dibodohi oleh bangsa-bangsa lain”. Harapan ke depan, dengan di revisinya Kurikulum 2013 akan menjawab permasalahan pendidikan saat ini. Kurikulum yang menjadi petunjuk untuk meraih kecerdasan, kemakmuran serta kemajuan yang akan mengubah wajah pendidikan bangsa kita.

Sekolah adalah “lahan utama” yang menjalankan dan merasakan dampak dalam setiap perubahan kurikulum. Membiarkan permasalahan penerapan kurikulum berlaru-larut sama saja mengorbankan generasi muda bangsa. Kita menunggu wajah baru kurikulum ini, apakah akan melakukan perbaikan demi kemajuan pendidikan atau cuma eksistensi rezim kepemimpinan yang tak mencari jalan keluar. Kurikulum berkualitas bisa saja ditafsirkan dengan mempertahankan kurikulum 2013 dengan sejumlah catatan perbaikan atau menggantinya dengan kurikulum yang baru. Semuanya tergantung kebijakan Jokowi-JK melalui Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.

Tulisan ini dimuat di Padang Ekspres, 16 November 2015

Selasa, September 08, 2015

Menggapai Impian Wajib Belajar 12 Tahun

google.com/foto
Pro-Kontra terhadap Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tidak hentinya disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat saat ini. UU yang disahkan oleh DPR RI bersama dengan pemerintah pada tanggal 11 Juni 2003 silam, tak relevan lagi dengan kondisi perkembangan dunia pendidikan era sekarang. Sebab hanya mengakomodir wajib belajar 9 tahun bukan wajib belajar 12 tahun bahkan Perguruan Tinggi.

UU Sisdiknas mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Harapannya tak lebih supaya menjadi wadah yang mengantarkan orang Indonesia menjadi warga dunia modern tanpa kehilangan jati dirinya.

Ditambahkan lagi UU Sisdiknas, merupakan pendidikan berlandaskan pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945) yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Tetapi disayangkan, hanya dapat menyelenggarakan pendidikan wajib belajar 9 tahun. Aturan ini sudah 12 tahun lamanya, sudah patut untuk direvisi menjadi wajib belajar 12 tahun sebagai tuntutan dunia pendidikan saat ini.

Sementara semangat yang dibawa dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menjauhkan masyarakat dari hak konstitusionalnya akan pendidikan dengan adanya keterbatasan demikian. Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan hakekat pendidikan akan pudar.
Penyelengaraan sekolah gratis hingga 12 tahun memiliki dampak terhadap masyarakat tak mampu, mereka dapat mengeyam pendidikan meskipun hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajatnya. Ini sejalan dengan tanggung jawab konstitusional negara walaupun ada keterbatasan demikian.

Menurut Doni Koesoema, pengamat pendidikan mengatakan bahwa memang benar perlu adanya revisi terhadap UU Sisdiknas untuk mewujudkan program wajib belajar 12 tahun. (tempo,29/8/2015). Ia menjelaskan ada tiga hal yang perlu di perhatikan dalam mewujudkan wajib belajar 12 tahun di indonesia, yakni legislasinya, praktiknya dan konsep dasarnya.

Pertama sisi legislasi, ini berkaitan dengan tugas dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan pemerintah. Dua lembaga negara tersebut hendak sebaiknya membuat aturan baru yang merupakan revisi dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional itu. Sisi lainnya Pemerintah bersama DPR memperhatikan wajib belajar 12 tahun pada zaman globalisasi ini. Tidak hanya Indonesia bersiap menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), tetapi Indonesia memang memerlukan pendidikan yang tinggi. Belum meratanya tingkat pendidikan orang indonesia itu yang menyebabkan krisis pendidikan di negeri ini.

Kedua sisi praktinya, impelementasi di lapangan seringkali menjadi penghalang dalam pendidikan. Hambatan dalam hal infrastruktur baik sarana maupun prasarana. Jumlah sekolah tidak sebanding dengan jumlah siswanya, masih minim. Misalnya ada satu bangunan sekolah yang digunakan mulai tingkat SD, SMP hingga SMA, yang dipergunakan secara bergantian. Begitu ironisnya potret pendidikan Indonesia setelah 70 tahun merdeka.

Beranjak dari hal itu, ada berbagai upaya yang dapat mengatasi problema hal tersebut. Menurut Doni (pengamat pendidikan), pemerintah tidak bisa melihat dari jumlah sekolah saja dalam mewujudkan program itu. Pemerintah bisa saja menjadikan beberapa bengkel belajar, yang sudah banyak yang dikelola masyarakat menjadi salah satu wujud pendidikan siswa, negara dapat mengandalkan masyarakat dalam hal ini.

Ketiga sisi konsep dasar, ini berbicara persoalan ilmu yang diberikan. Telah banyak ilmu yang diberikan baik dalam pelatihan ataupun sekolah-sekolah informal lainya. Dengan adanya ilmu pengetahuan baik formal maupun non formal dapat meningkatkan ketakwaan serta akhlak mulia siswa sekolah indonesia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai yang diamanatkan dalam konstitusi.

Ketidakmapuan masyarakat dalam membiayai biaya sekolah, ini menjadi penghambat untuk menggapai pendidikan. Meskipun ada beberapa daerah di Indonesia telah menerapkan wajib belajar 12 tahun bahkan Perguruan tinggi. Contohnya yang baru-baru ini, gubernur sumatera selatan Alex Noerdin meluncurkan program kuliah gratis yang mulai digelar pada tahun ajaran 2015-2016, program pendidikan gratis pada jenjang perguruan tinggi itu
merupakan yang pertama diselenggarakan pemerintah provinsi di Indonesia (Media Indonesia, 24/8/2015).

Kita perlu mengapresiasi hal demikian. Dengan digulirnya sekolah gratis sampai perguruan tinggi akan mengatasi semua anak yang berasal dari keluarga kurang mampu dapat mengakses pendidikan secara maksimal. Harapanya hal demikian segera atau ditiru oleh provinsi seluruh indonesia. Jika tidak timbullah pertanyaan, siapa yang akan menjamin jika suatu pendidikan usia sekolah gratis untuk sekolah? dan apakah pemerintah memiliki kemauan untuk malaksanakan program sekolah gratis hingga wajib belajar 12 tahun bahkan perguruan tinggi?. Itulah sekelumit problema yang dihadapi.

Menetapkan legislasinya, menganggarkan anggaran pendidikan, membuat konsep dasar serta praktiknya adalah prioritas kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ketika hal demikian satupadu, alangkah majunya peradaban pendidikan negara ini tanpa memikirkan biaya dan segala rupiah dalam mengenyam pendidikan usia sekolah. Semoga menggapai impian sekolah atau mendapatkan pendidikan bukan angan-angan belaka yang mewah bagi sebagian masyarakat Indonesia. (*)

Tulisan ini dimuat di Harian Padang Eskpres, 7 september 2015

Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...