Translate

Selasa, September 08, 2015

Menggapai Impian Wajib Belajar 12 Tahun

google.com/foto
Pro-Kontra terhadap Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tidak hentinya disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat saat ini. UU yang disahkan oleh DPR RI bersama dengan pemerintah pada tanggal 11 Juni 2003 silam, tak relevan lagi dengan kondisi perkembangan dunia pendidikan era sekarang. Sebab hanya mengakomodir wajib belajar 9 tahun bukan wajib belajar 12 tahun bahkan Perguruan Tinggi.

UU Sisdiknas mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Harapannya tak lebih supaya menjadi wadah yang mengantarkan orang Indonesia menjadi warga dunia modern tanpa kehilangan jati dirinya.

Ditambahkan lagi UU Sisdiknas, merupakan pendidikan berlandaskan pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945) yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Tetapi disayangkan, hanya dapat menyelenggarakan pendidikan wajib belajar 9 tahun. Aturan ini sudah 12 tahun lamanya, sudah patut untuk direvisi menjadi wajib belajar 12 tahun sebagai tuntutan dunia pendidikan saat ini.

Sementara semangat yang dibawa dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menjauhkan masyarakat dari hak konstitusionalnya akan pendidikan dengan adanya keterbatasan demikian. Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan hakekat pendidikan akan pudar.
Penyelengaraan sekolah gratis hingga 12 tahun memiliki dampak terhadap masyarakat tak mampu, mereka dapat mengeyam pendidikan meskipun hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajatnya. Ini sejalan dengan tanggung jawab konstitusional negara walaupun ada keterbatasan demikian.

Menurut Doni Koesoema, pengamat pendidikan mengatakan bahwa memang benar perlu adanya revisi terhadap UU Sisdiknas untuk mewujudkan program wajib belajar 12 tahun. (tempo,29/8/2015). Ia menjelaskan ada tiga hal yang perlu di perhatikan dalam mewujudkan wajib belajar 12 tahun di indonesia, yakni legislasinya, praktiknya dan konsep dasarnya.

Pertama sisi legislasi, ini berkaitan dengan tugas dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan pemerintah. Dua lembaga negara tersebut hendak sebaiknya membuat aturan baru yang merupakan revisi dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional itu. Sisi lainnya Pemerintah bersama DPR memperhatikan wajib belajar 12 tahun pada zaman globalisasi ini. Tidak hanya Indonesia bersiap menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), tetapi Indonesia memang memerlukan pendidikan yang tinggi. Belum meratanya tingkat pendidikan orang indonesia itu yang menyebabkan krisis pendidikan di negeri ini.

Kedua sisi praktinya, impelementasi di lapangan seringkali menjadi penghalang dalam pendidikan. Hambatan dalam hal infrastruktur baik sarana maupun prasarana. Jumlah sekolah tidak sebanding dengan jumlah siswanya, masih minim. Misalnya ada satu bangunan sekolah yang digunakan mulai tingkat SD, SMP hingga SMA, yang dipergunakan secara bergantian. Begitu ironisnya potret pendidikan Indonesia setelah 70 tahun merdeka.

Beranjak dari hal itu, ada berbagai upaya yang dapat mengatasi problema hal tersebut. Menurut Doni (pengamat pendidikan), pemerintah tidak bisa melihat dari jumlah sekolah saja dalam mewujudkan program itu. Pemerintah bisa saja menjadikan beberapa bengkel belajar, yang sudah banyak yang dikelola masyarakat menjadi salah satu wujud pendidikan siswa, negara dapat mengandalkan masyarakat dalam hal ini.

Ketiga sisi konsep dasar, ini berbicara persoalan ilmu yang diberikan. Telah banyak ilmu yang diberikan baik dalam pelatihan ataupun sekolah-sekolah informal lainya. Dengan adanya ilmu pengetahuan baik formal maupun non formal dapat meningkatkan ketakwaan serta akhlak mulia siswa sekolah indonesia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai yang diamanatkan dalam konstitusi.

Ketidakmapuan masyarakat dalam membiayai biaya sekolah, ini menjadi penghambat untuk menggapai pendidikan. Meskipun ada beberapa daerah di Indonesia telah menerapkan wajib belajar 12 tahun bahkan Perguruan tinggi. Contohnya yang baru-baru ini, gubernur sumatera selatan Alex Noerdin meluncurkan program kuliah gratis yang mulai digelar pada tahun ajaran 2015-2016, program pendidikan gratis pada jenjang perguruan tinggi itu
merupakan yang pertama diselenggarakan pemerintah provinsi di Indonesia (Media Indonesia, 24/8/2015).

Kita perlu mengapresiasi hal demikian. Dengan digulirnya sekolah gratis sampai perguruan tinggi akan mengatasi semua anak yang berasal dari keluarga kurang mampu dapat mengakses pendidikan secara maksimal. Harapanya hal demikian segera atau ditiru oleh provinsi seluruh indonesia. Jika tidak timbullah pertanyaan, siapa yang akan menjamin jika suatu pendidikan usia sekolah gratis untuk sekolah? dan apakah pemerintah memiliki kemauan untuk malaksanakan program sekolah gratis hingga wajib belajar 12 tahun bahkan perguruan tinggi?. Itulah sekelumit problema yang dihadapi.

Menetapkan legislasinya, menganggarkan anggaran pendidikan, membuat konsep dasar serta praktiknya adalah prioritas kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ketika hal demikian satupadu, alangkah majunya peradaban pendidikan negara ini tanpa memikirkan biaya dan segala rupiah dalam mengenyam pendidikan usia sekolah. Semoga menggapai impian sekolah atau mendapatkan pendidikan bukan angan-angan belaka yang mewah bagi sebagian masyarakat Indonesia. (*)

Tulisan ini dimuat di Harian Padang Eskpres, 7 september 2015

Tidak ada komentar:

Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...