Translate

Jumat, Juni 12, 2015

Mendorong Pembangunan yang Partisipatif

google.com/foto
Ketika mendengar mengenai pembangunan, yang terbayang adalah kemajuan, kemegahan dan kesejahteraan. Namun, pengalaman rakyat Indonesia sejak penjajahan Belanda hingga Indonesia merdeka saat ini menunjukkan betapa banyaknya perlakuan ketidakadilan, jauh dari kesejahteraan dan kemakmuran akibat pembangunan.

Kata pembangunan pun sering kita dengar dikaitkan dengan mantan Presiden Soeharto. Pada masa Orde Baru, di bawah tangan besinya, rakyat Indonesia “dinina bobokan” sejenak dan kemewahan semu pembangunan. Kondisi ini pun menyeruak dan pada akhirnya meledak pada krisis ekonomi 1998. Rakyat tetap sengsara. Sampailah saat ini, kita berada disebuah orde yang disebut reformasi. Reformasi bertujuan untuk mendorong keterbukaan dalam pemerintahan dan pemerataan dalam ekonomi. Sebab itu ,pembangunan pun semestinya sudah melingkupi seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah harus melakukan pembangunan infrastruktur untuk mendukung keberhasilan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Demi mempersempit kesenjangan dan kecemburuan antar wilayah.
Visi pembangunan indonesia yang mengedepankan kesejahteraan, demokrasi dan keadilan. Demi terwujudnya pertumbuhan dan pemeratan ekonomi. Lagi-lagi begitu indah. Namun, sasat ini ketimpangan masih saja menganga terbuka, amat gamblang terlihat antara Wilayah Indonesia Barat dan Wilayah Timur, antara Jawa dan luar-Jawa, juga perkotaan dan perdesaan. Rasio gini Indonesia saat ini mencapai 0,41 persen. Adapun ekonomi Indonesia yang tumbuh, belum dinikmati segenap bangsa.

Sejalan dengan itu, dalam hal daya saing misalnya, tetap saja Indonesia tertinggal di banding negara-negara di kawasan ASEAN. Menurut kajian Indeks Revealed Comparative Advantages (RCA), produk industri Indonesia berada di urutan kelima di bawah Thailand, Singapura, Thailand, Malaysia dan Vietnam.

Pembangunan infrastruktur dan Hak Kolektif Rakyat
Infrastruktur yang tak memadai selalu dijadikan alasan utama penghambat pembangunan Indonesia sampai saat ini. Belum lagi pembangunan infrastruktur untuk industrialisasi, acapkali berbenturan dengan kepentingan hak-hak rakyat secara kolektif.
Salah satunya yang dialami masyarakat Bungus, Teluk Kabung, Padang. Permasalahan terjadi akibat pembangunan infrastruktur jalan melalui program Tentara

Manunggal Masuk Desa (TMMD). Meskipun berkedok sosial, pada faktanya sangat jelas pembangunan ini sebenarnya untuk tujuan industrialisasi yang “menyengsarakan masyarakat”.
Ketiadaan informasi yang pasti, ketiadaan ganti rugi tanah dan tamanan. Pengintimidasian masyarakat pemilik tanah dan tanaman mewarnai proses proyek pembangunan jalan ini. Seolah-olah Pemerintah (Kota Padang) tak peduli terhadap hak-hak kolektif masyarakat, yang terpenting program berjalan dan memberikan profit bagi negara (baca :para penguasa).

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum disini yang dilaksanakan dengan cara pelepasan hak atas tanah sangat tidak mencerminkan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Alhasil, masyarakat harus menuntut melalui jalur hukum, kerugian mereka ditaksir hingga puluhan miliar rupiah.

Belajar dari Porto Allegre
Bandingkan dengan sebuah kota di Brazil yang juga merupakan negara berkembang yakni Porto Allegre. Kota yang berhasil mewujudkan pembangunan partisipatif melibatkan masyarakat dalam pembangunan guna menghapuskan kesenjangan pembangunan yang sarat ketidakadilan.
Pembangunan partisipatif di Porto Allegre tidak terjadi sekonyong-konyong. Gagasan tersebut muncul tidak terlepas dari pengalaman buruk Brazil di dua masa yang berbeda yakni, rezim diktator militer dan rezim demokraktik dengan model pembangunan neoliberalisme. Salah satunya pengalaman buruk ketika terjadi kekacauan perekonomian Brazil yang disertai membengkaknya hutang Negara, baik domestik maupun luar negeri. Hutang luar negeri Brazil pada tahun 1994 tercatat sebesar US$ 148 milyar bertambah menjadi US$ 226 milyar pada tahun 2001.

Kesemua hal tersebut kemudian dijawab dengan memunculkan konsep pembangunan yang partisipatif di Porto Allegre. Model pembangunan ini diawali dengan meluncurkan program anggaran partisipatif. Program ini, masyarakat dapat terlibat langsung dalam penyusunan anggaran secara aktif. Pembangunan berjalan atau berasal dari bawah sehingga pembangunan sangat mencerminkan kebutuhan masyarakat. Hal ini berhasil meningkatkan taraf hidup dan partisipasi di Porto Allegre. Ini membuktikan bahwa kemajuan dalam pembangunan dapat terlaksana dengan partisipasi masyarakat sehingga pembangunan yang berkeadilan pun dapat tercapai.

Ada 3 tahapan dalam pelaksanaan pembangunan di Porto Allegre yang berdampak positif yang berbasis partisipatif masyarakat. Pertama, bagaimana dan siapa saja aktor yang menjalankan suatu program pembangunan. Kedua, bagaimana konsep dari program pembangunan tersebut. Ketiga, bagaimana hasil (output) dari program pembangunan tersebut.

Salah satu aktornya ialah adalah dewan rakyat. Dewan rakyat merupakan perwakilan dari asosiasi-asosiasi komunitas dan kelompok-kelompok lokal atau masyarakat lainnya. tetapi keberadaan dewan rakyat ini sama sekali tidak membatasi partisipasi langsung masyarakat karena masyarakat juga terlibat langsung dalam diskusi-diskusi penyusunan anggaran partisipatif. Meliputi sosialisasi, diskusi dan memilih proposal anggaran pemerintah dalam dewan anggaran partisipatif, dan meminta persetujuan dari pemerintahan lokal.

Pada masa sosialisasi masyarakat diberikan informasi-informasi penting terkait penyusunan anggaran. Sosialisasi ini mendiskusikan anggaran, keterbatasan dan alternatif-alternatifnya. Pembangunan partisipatif ini mesti dilihat sebagai sebuah konsep pembangunan bukan sekedar teknis dalam menjalankan. Semua hal yang dilakukan di Porto Allegre, berawal dari niat untuk menghapuskan kebijakan pembangunan yang mengidap ketidakadilan secara struktural.

Pembangunan yang absen kehadiran rakyat hanya membuat kesejahteraan teralokasi kepada elit. Coen Husain Pontoh (Malapetaka Demokrasi Pasar, 2005) mengatakan pembangunan haruslah menjurus pada demokrasi partisipatif, mengubah hubungan kekuasaan yang tadinya sangat elitis menjadi berbasis massa. Dengan berbasis massa artinya rakyat terlibat langsung dalam menjalankan dan mengontrol jalannya kekuasaan.

Kesemua hal yang berkaitan dengan partisipasi dalam pembangunan diatas juga sejalan dengan Prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, Consent). Dimana dalam suatu pembangunan, sebelum memulainya, pemerintah mesti memberikan informasi yang seluas-luasnya dan masyarakat memiliki kebebasan untuk menyetujui atau tidak pembangunan tersebut. Dengan ini, hak-hak kolektif masyarakat terlindungi dan dihormati.

Presiden Pelupa
Presiden Jokowi ketika menjabat Walikota Solo juga sudah pernah melakukan pembangunan partisipatif. Misalnya, pada saat merelokasi pedagang pasar. Para pedagang diundang untuk membicarakan relokasi dan menetapkan prosesnya. Pedagang pun sepakat dan pindah dengan damai dan tertib. Akhirnya, pembangunan infrastruktur pasar dapat terlaksana dengan lancar.

Jokowi tidak mungkin lupa. Sebagai presiden, Jokowi mesti mendorong pembangunan partisipatif terjadi di seluruh tanah air. Seluruh pemerintah daerah mesti menyambut dengan mendorong partisipasi di daerah. Sebagai wujud aktualisasi otonomi daerah. Disisi lain, masyarakat semestinya memiliki ikatan sosial yang kuat dan organis, agar dapat terlibat secara kolektif dalam suatu pembangunan.

Mendorong perubahan pembangunan yang partisipatif akan tercapai ketertiban. Perubahan maupun ketertiban merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu sarana yang tak dapat diabaikan dalam proses pembangunan (Prof. Dr. Moctar Kusumaatmadja). Partisipasi dapat dijadikan tolak ukur atas keberhasilan pembangunan yang selalu berjargon demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Rakyat Indonesia berhak atas pembangunan yang senyatanya berkeadilan, bukan jargon! Jokowi jangan sampai menjadi presiden yang pelupa!.(*)

Tulisan ini memuat di Harian Haluan, 11 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...