Translate

Minggu, Mei 31, 2015

Harapan Kepada Moratorium UKT

google.com/foto
Pro-kontra mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT) sampai saat ini masih menjadi persoalan mendasar dalam pembiayaan pendidikan di Perguruan Tinggi. Sejak tahun 2013, awal diterapkan UKT banyak masalah telah muncul. Itu semua dikarenakan oleh biaya yang diterapkan begitu mahal dan penetapan level yang tak sesuai. Tapi sekarang timbul kebijakan dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk memoratorium penerapan UKT di Perguruan Tinggi. Bahwa Kemenristekdikti mengeluarkan kebijakan yang menyatakan bahwa melakukan penghentian sementara (moratorium) penerapan UKT. (Padang Ekspres,28/5/2015).

Kebijakan moratorium UKT ditujukan pada mahasiswa baru Tahun Akademik 2015/2016, atas dasar yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menristekdikti Nomor 01/M/SE/V/2015 tertanggal 20 Mei lalu. Jika dicermati lebih dalam, efek dari pemberlakuan moratorium UKT pada tahun 2015. Dapat memihak sebagian besar calon mahasiswa baru berekonomi lemah. Mengapa begitu. Kelompok mahasiswa miskin sekali dan miskin tak akan berjumlah 5 % dari seluruh mahasiswa baru yang diterima. Bandingkan ketika memakai sistem UKT, mahasiswa baru yang miskin sekali dan miskin (kelompok I dan kelompok II) hanya paling sedikit masing-masing 5% dari seluruh mahasiswa baru yang diterima. Selebihnya mahasiswa kayalah yang mengisi (kelompok III, IV dan V). Terkesan enggan menciptakan aturan “pendidikan pro-si miskin” dari keberadaan UKT. Meskipun UKT pada dasarnya menggunakan prinsip subsidi silang yang mana “si kaya membantu si miskin” dalam pembiayaan uang kuliah.

Berdasarkan Angka Partisipasi Murni (APM) murid SD mencapai 94,72 % dan menurun pada tingkat SMP yang berkisar 67,72 % dan semakin kecil pada tingkat SMA yakni 45,48 % sehingga pada akhirnya hanya 11 % saja yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Terhadap 11 % anak-anak yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Berapakah jumlah yang mengakomodir seluruh mahasiswa baru yang berkemampuan ekonomi lemah?. Sudah barang tentu sedikit jumlahnya. Untuk itulah ketika pemerintah seharusnya mengakomodir mahasiswa yang terkendala ekonomi, tak akan seperti itu kenyataan yang terjadi di Pendidikan Tinggi kita.

Semestinya tak ada lagi Uang kuliah yang lebih 4 juta hingga mencapai belasan juta persemester. Yang rentan menyebabkan mahasiswa yang sedang menjalani masa studi, bisa dihentikan haknya ditengah jalan sebab tak mampu membayar uang kuliah yang begitu mahal. Penghapusan legalisasi suatu peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu (sistem jatah). Sejalan hal itu pemikiran bisnis yang menjurus pada komersialisasi terbuang jauh-jauh dari aroma Perguruan Tinggi. Pendidikan tinggi terjangkau (accessable) dan tidak diskriminatif (non discriminative) bagi seluruh kalangan.

Jika tidak. Kader intelektual yang dihasilkan oleh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta akan pudar. Sebab niat bukan lagi untuk menciptakan manusia yang berintelegensi tinggi dan bermoral melainkan institusi sibuk mencari dana untuk operasioanal yang pada titik tertentu akan berubah menjadi interaksi laba-rugi. Sejatinya Perguruan Tinggi mesti memfokuskan diri untuk meningkatkan kualitas akademik yang tinggi. Perguruan tinggi harus menjauhkan diri dari faktor komersialisasi dengan prinsip mengejar keuntungan sebesar - besarnya.

Prinsip pendidikan kita ialah prinsip nirlaba (Prof. Irwan Prayitno, 2010). Prinsip ini memformulasikan bahwa kegiatan pendidikan tujuan utamanya tidak mencari keuntungan, tetapi sepenuhnya untuk kegiatan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai cita-cita bangsa, meningkatkan kapasitas dan peningkatan mutu layanan pendidikan. Mencegah praktik komersialisasi pendidikan. Output-nya, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) menjadi produktif dan aktif demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

Alasan Biaya Sudah Ketinggalan Zaman
Di Singapura, dari sekolah dasar hingga universitas, siswa sudah dipantau dan diarahkan untuk mendapatkan pendidikan yang cocok untuknya. Untuk keluarga yang tidak mampu, pemerintah menyediakan beasiswa jika perlu. Itu disediakan untuk memastikan bahwa kemiskinan bukan hambatan untuk mengenyam pendidikan. Otonomi masing-masing fakultas dibuat sedemikian tinggi dan dibiarkan mampu memikirkan pengembangan diri sendiri. Soal pendanaan, tampaknya tidak menjadi masalah. misalnya : Nanyang Technological University (NTU) sudah memiliki endowment fund dari pemerintah sebesar 200 juta dollar Singapura untuk segala kegiatan di kampus.
Mahasiswa diberikan seminar-seminar gratis dan penuh banyak beasiswa. Kendala tidak ada biaya itu sangat dipastikan tidak ada. Mahasiswa tinggal menyediakan waktu dan niat untuk belajar tekun tanpa harus diganggu oleh ketiadaan biaya. Praktik demikianlah yang membuat karakter bangsa singapura bermartabat dan mencerdaskan yang memajukan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat singapura.

Saatnya Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melakukan sistem yang menjamin upaya anak-anak bangsa harus mendapatkan pendidikan tinggi. Pada hakikatnya pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai yang diamanatkan dalam konstitusi. Menetapkan dan menganggarkan anggaran pendidikan adalah suatu hal yang menjadi prioritas kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ketika hal demikian terjadi, alangkah majunya peradaban pendidikan negara ini tanpa memikirkan biaya dan segala rupiah dalam mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Persoalan biaya jangan lagi jadi alasan pemerintah untuk setengah hati dalam menumbuhkan kembangkan anak-anak bangsa yang berbudi dan berintelektual, sebagai penerus bangsa adalah yang terpenting (Ki Hajar Dewantara). Sejalan dengan Tridharma

Perguruan Tinggi dimana terdapat kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Semestinya Kemenristekdikti berbenah dan segera melakukan perubahan dan memunculkan sistem pendidikan tinggi yang komprehensif menanggulangi permasalahan selama ini, terutama yang berkaitan dengan hak atas pendidikan demi mencapai tujuan pendidikan dalam UUD 1945.(*)

Tulisan ini dimuat di Harian Padang Ekspres, 30 mei 2015

Tidak ada komentar:

Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...