Translate

Minggu, November 05, 2017

Penguatan Desa Menuju Kesejahteraan

Melihat Indonesia dengan hati nurani, harus sungguh-sungguh mewujudkan dengan mengagendakan dan menyelesaikan persoalan sosial (kemiskinan, penggangguran, keadilan dan sebagainya) dalam masyarakat. Maksudnya, janganlah masalah sosial dalam masyarakat hanya dipikirkan sambil lalu, sedangkan masalah inflasi atau birokrasi misalnya, dipikirkan sampai tidak tidur beberapa hari hanya karena aspek ketakutan pada atasan kerja.

Persoalan sosial dalam masyarakat masih terus menghantui negara kita. Diperlukan sikap yang dilandasi hati nurani. Alangkah eloknya, pemerintah berkomitmen “untuk membangun indonesia dari pinggiran” sesuai dengan program nawacita presiden Jokowi Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla.
Berbicara mengenai pinggiran, justru berkait dengan manusianya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pinggiran diartikan sebagai bagian (daerah) yang di pinggir, tepi atau perbatasan. Daerah yang dimaksud disini adalah suatu tempat ada keadaan alam, tidak ada gedung-gedung. Berarti dapat kita simpulkan itu yang dinamakan desa.
Pusaran kemiskinan di desa masih tentang realitas kehidupan masyarakat. Sejak dulu hingga sekarang tak kunjung usai. Tampaknya menjadi warisan yang turun-temurun. Menjadi penghambat kemajuan dan “pekerjaan rumah” yang terus-menerus. Tiada henti.

Masalah di desa
Melihat karakteristik kemiskinan di indonesia khususnya desa (bambang Widianto:2012), dapat di gambarkan sebagai berikut: pertama, sebagian besar penduduk rentan dengan kemiskinan. Banyak penduduk berpenghasilan di sekitar garis kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) secara nasional, mistar ukur garis kemiskinan sebesar Rp 361.496,- per bulan. Kedua, kemiskinan merupakan masalah yang multidimensi yang masih terbatas seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, pekerjaan, transportasi.

Ketiga, adanya ketimpangan yang besar antar wilayah, baik provinsi maupun antar pedesaan-perkotaan. Misalnya, ketiadaan listrik, masyarakat desa masih menggunakan
alat-alat tradisional dalam penerangan maupun rumah tangga, akses komunikasi dan informasi lambat diterima bahkan tidak ada (belum merata), terbalik dengan kota. Keempat, pengeluaran terbesar adalah untuk belanja makanan (kebutuhan pokok). Harga bahan pokok terjadi gejolak, menjadi kunci terjadinya kemiskinan. Kelima, mayoritas masyarakat bekerja di sektor pertanian sebagai petani dan buruh. Ketidakadaan keahlian untuk melakukan profesi lain. Kecenderungan masih bersikap pasif untuk melakukan sesuatu.

Pentingnya modal sosial dalam pembangunan desa
Dahulu, di masa perjuangan nasional indonesia yang dilakukan Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol dan pejuang lainnya, ternyata berbasis dan ditopang oleh desa (B.N. Marbun : 2000). Inilah yang menyebabkan dapat memperjuangkan bangsa dapat berlangsung bertahun-tahun dari penjajahan. Begitu besar pengaruh desa sebagai tulang punggung perjuangan kemerdekaan silam.
Sekarang, pasca reformasi eksistensi desa direduksi menjadi bagian dari wilayah atau daerah kabupaten/kota yang pengaturannya yang awalnya dari UU No 22/1999 tentang pemerintah daerah. Eksistensinya “redup”. Namun sekarang, dengan lahirnya UU Desa , memberikan cahaya untuk membuka kembali eksistensi desa. Penopang kesejahteraan, selayaknya ketika zaman perjuangan kemerdekaan silam.

Tahun ini, dana desa terjadi kenaikan. Tahun 2016 lalu saja, sebesar Rp 46,9 triliun untuk 74.754 desa menjadi Rp 60 triliun yang diperuntukan 74.954 desa, dan bahkan tahun depan 2018, anggarannya akan dinaikan dua kali lipat menjadi Rp 120 triliun (Koran Tempo, 19/10/2017). Dari dana khusus yang disiapkan, kita dapat melihat tekad pemerintah untuk bersungguh-sungguh membangun kesejahteraan melalui desa. Semoga.

Selanjutnya, kita memandang desa sebagai komunitas yang selalu menautkan pemerintah dan warganya. Upaya mewujudkan membangun kesejahteraan desa, tidak serta-merta modal fisik (dana, infrastruktur dan sumber daya alam) dibutuhkan tetapi beriringan dengan modal sosial dalam masyarakat. (soetomo, 2014:45)

Pertama, Kearifan lokal mengambarkan kemampuan masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan eksistensi kehidupan melalui berbagai bentuk, tetapi tetap nuansa upaya mewujudkan kesejahteraan bersama. Adanya kesadaran dan kemampuan yang dimiliki. Akan timbul dorongan untuk memahami tentang budaya lokal dan kondisi sosial kekinian. Sehingga bersama melakukan perubahan kearah baik.

Kedua, Prinsip harmoni dipakai bukan semata-mata kondisi yang mengandung kemakmuran ekonomi (kebutuhan fisik), melainkan menggambarkan suasana terpenuhi kebutuhan non fisik dan sosiologis. Artinya, mewujudkan kehidupan tentram, adil dan aman. Memunculkan kebanggaan dan percaya diri atas budaya sendiri. Terhindar dari pengaruh luar yang negatif. Akhirnya pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan masyarakat benar-benar harmoni untuk berjalan bersama mewujudkan kesejahteraan.

Ketiga, gotong-royong merupakan cerminan solidaritas sosial yang tinggi. Rasa kebersamaan, bekerja tanpa pamrih, dan menyelesaikan permasalahan yang hasilnya bermanfaat semua orang. Terdapat asas timbal balik, bahwa setiap individu manusia sebagai saudara, saling membantu, tolong menolong karena sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Identitas ini lah yang merupakan kepribadian bangsa indonesia. Artinya, perwujudan kesejahteraan bukan melalui tindakan individual, melainkan tindakan bersama-sama (gotong-royong).

Penutup
Adanya jaminan yuridis, bukan berarti bahwa usaha membangun desa telah tercapai. UU desa hanya merupakan pintu masuk bagi pemenuhan kesejahteraan masyarakat desa seluruh Indonesia. Selanjutnya, penguatan modal fisik dan modal sosial desa menjadi penentun keberhasilan berjalanya agenda penyelesaian masalah sosial dalam masyarakat, sehingga benar-benar kesejahteraan itu terasa dalam kehidupan masyarakat.

Mengakhiri tulisan ini, penting untuk disarikan. Melalui aturan yang jelas dan tepat, membutuhkan niat yang baik (good will) serta terjalin koordinasi dan kerjasama bersifat teknis yang baik dan benar antara pemerintah dan masyarakat di desa. Jangan sampai anggaran 750 juta sampai 1,6 milyar per desa tidak tepat sasaran yang disebabkan tidak sesuai dengan perencenaan dan aparatur pemerintah (desa) justru “gagap”. Tanpa upaya seperti ini, komitmen nawacita lebih bersifat utopis daripada realistis.

Tulisan ini dimuat di Harian Padang Ekspres, 4 November 2017

Tidak ada komentar:

Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...