Sumber : Google.com |
Bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, diselenggarakan untuk rakyat dan oleh rakyat sendiri, serta dengan terus membuka diri dengan melibatkan seluas mungkin peran serta rakyat dalam penyelenggaraan negara. Dalam praktek pelaksanaan gagasan demokrasi itu memang sering timbul persoalan antara das sollen dan das sein, antara yang diidealkan(seharusnya) dengan kenyataan di lapangan.
Persoalan ini perlu dilakukan upaya sehingga dalam pelaksanaannya kembali selaras dan seimbang. Merujuk pada seorang ilmuan politik yang bernama Robert A. Dahl, dalam salah satu karya klasiknya, Polyarchy (1971:1-3), ia menuliskan delapan jaminan konstitusional yang menjadi syarat perlu untuk demokrasi. Pertama, adanya kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi. Kedua, adanya kebebasan berekspresi. Ketiga, adanya hak memberikan suara. Keempat, adanya eligibilitas untuk menduduki jabatan publik.
Selanjutnya Kelima, adanya hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara. Keenam, adanya tersedianya sumber-sumber informasi alternatif. Terakhir Ketujuh, adanya institusi-institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada suara–suara (pemilih, rakyat) dan ekspresi pilihan (politik) lainnya.
Sulit untuk menyakini bahwa proses demokrasi negara kita telah terjaminan seperti demikian. Sebab, kita masih terperangkap dalam suatu kebingungan yang telah mencapai titik akhir. Telah menyadarkan diri kita sendiri bahwa kita sebetulnya berada di titik bagian awal. Apakah persoalan kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan,
kepuasaan dan keinginan serta kehendak masyarakat telah terjamin di negara ini? Nampaknya, pemerintahan belum sungguh-sungguh menjalankan proses demokrasi sebagaimana mestinya, ataupun mungkin dianggap penting tetapi belum memadai, sebagaimana makna dari, oleh dan untuk rakyatnya sendiri.
Kepuasan terhadap demokrasi ditentukan oleh seberapa puas rakyat (publik) atas kinerja pemerintahan dan lembaga produk demokrasi. Untuk Mewujudkan kehendak umum atau kepuasan rakyat, dirasa perlu untuk menidaklanjuti beberapa bagian masyarakat atau setiap warga negara sesuai dengan prinsip berdemokrasi yang hanya mengungkapkan pendapat pribadi atau kepentingan pribadi, bukan kepentingan bersama (Masyarakat). Tindakan ini, merupakan cara yang boleh dilakukan demi kemantapan kehendak umum atau kepuasan rakyat. Selain itu, hadirnya sosok pemimpin yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat-nya, juga memiliki peranan penting dalam mewujudkan kemantapan berdemokrasi saat ini.
Pemimpin Transformasional
Dalam studi kepemimpinan, pemimpin transformasional dapat kita katakan pemimpin yang mempunyai visi masa depan dan menolak transaksi politik jangka pendek. Pengertian pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara tertentu, merasa dipercayai, dihargai, loyal dan termotivasi untuk peningkatan pekerjaan atau melakukan sesuatu lebih baik sebagaimana yang diharapkan (swandari, 2003:93-102).
Bahwa pemimpin ini menularkan efek transformasi pada tingkat individu dan organisasi. Bass dan Avolia (1994) dalam buku Improving Organizational Efektiveness through Transformasional Leadership, kepemimpinan transformasional dicirikan oleh The three I’s (Tiga huruf ‘I’). Pertama, pemimpin yang memiliki idealized influence, rakyat dibuat berdecak kagum, hormat dan percaya. Tak ada elemen masyarakat, apalagi tokoh-tokoh agama dan cendikiawan yang menuduh pemimpinya sedang melakukan politik kebohongan atau tidak membelakangi rakyatnya sendiri.
Bahwa ia tidak sedang bersandiwara.
Kedua, pemimpin yang mampu menggelorakan inspirational motivation, menyuntikan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan harapan menjadi kenyataan dalam masyarakat. Tak hanya mengaum di atas podium dan pintar berwacana, tetapi juga cakap dalam bekerja. Bukan hanya pintar bersolek di depan kamera atau berdandan di baliho-baliho atau spanduk pada masa pemilukada seperti saat ini.
Terakhir ketiga, intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan kaya akan ide-ide baru dan terobosan. Tak sekedar hadir disetiap serimonial, tetapi hadir dalam setiap percakapan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya sendiri. Mengatasi kebuntuan yang terjadi. Pada intinya pemimpin tidak membangun benteng pemisah antara rakyat yang dirinya. Itulah pemimpin yang dikatakan dari, oleh dan untuk rakyat.
Sekarang saatnya, kita untuk melakukan refleksi, sudahkah kita menjalankan prinsip-prinsip berkehidupan berdemokrasi. Apakah pemerintah telah menjalankan dan memadainya? Dan apakah pemimpin-pemimpin yang hadir sekarang telah menerapkan gaya pemimpin yang transformasioanal yang inspiratif dan autentik dari, oleh dan untuk rakyat indonesia?. Jawabannya kembali pada kita, dan tentu negara sebagai penguasa wajib menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Tak terasa gelaran pesta demokrasi sudah dekat yakni pilkada 2018, dan setahun kemudian pemilu 2019. Semoga pesta demokrasi ini membangun kerja sama dan kebersamaan dalam kehidupan sehingga melahirkan pemimpin yang dari, oleh, dan untuk rakyat. Bukankah, ini yang kita harapkan bersama.
Tulisan ini dimuat di Harian Padang Ekspres, 18 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar