Translate

Kamis, Oktober 20, 2016

Harapan Menuju Birokrasi Bersih

google.com/foto
Buruknya kinerja aparatur negara sudah jamak diketahui orang. Hal inilah yang menjadi tuduhan oleh banyak pihak sebagai biang keladi dari keterpurukan bangsa ini. Prestasi negara yang korup, konon disebabkan oleh bobroknya perangkat birokrasi yakni aparatur negaranya. Kejadian yang terjadi beberapa hari belakang, tertangkap tangannya 3 (tiga) orang oknum pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Perhubungan yang melakukan pungutan liar (pungli) terhadap pengurusan perizininan. Lantas, apakah perangkat negara saat ini sudah “tidakbecus” lagi dalam menjalankan tugas negara sebagaimana mestinya? Mungkin dengan kejadian demikian, jawabannya tentu saja tidak.

Menelisik benang merah dalam garis pelaksanaan pelayanan publik oleh aparatur negara, antara Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) di satu sisi dengan hukum dan kewenangan/kekuasaan pada sisi lainnya, jelas terlihat manakala implementasi aturan/hukum sudah bersikap diskriminasi. Dalam hal penegakan aturan pejabat publik maupun aparatur negara melakukan domainnya untuk me-legal-kan upaya KKN tersebut, sehingga seakan-akan tidak tersentuh oleh hukum mengingat kedudukan dan kewenangannya atas suatu kebijakan itu.

Sejatinya kehendak hukum sebagai supremasi dari negara yang berasaskan hukum mesti didorong oleh pembaharuan hukumnya. Menurut Lawrence M. Friedman, ada 3 (tiga) aspek pendekatan untuk membangun pembaruan hukum dalam suatu sistem hukum, dalam hal ini berkaitan dengan pelayanan negara, antara lain : segi struktur (stucture), substansi (substance), dan dari segi budaya hukum (legal culture) yang kesemuanya layak atau mesti berjalan secara integral, simultan dan paralel.

Pertama, dari segi structure (struktur) yang meliputi perbaikan segala institusi atau organ-organ yang menyelenggarakan tata kelola birokrasi yang lebih baik, sehingga meminimalisir terjadinya terjadinya penyimpangan (pungli, diskriminasi dan lainya). Pungli dan diskriminasi dalam layanan publik cendrung menampakkan sisi gelap dari birokrasi. Pemanfaatan untuk kepentingan pribadi yang mengatasnamakan instansi tempat aparatur negara itu bernaung. Selain itu, ketidakpuasan-ketidakpastian-pengabaian hak dan martabat masyarakat seringkali terabaikan ketika tidak melakukan hal demikian.

Kedua, substance (substansi) yang menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat aturan atau ketentuan normatif, pola dan kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum yang menyangkut tata kelola pelayanan publik. Pada era reformasi ini, pembaharuan terhadap substansi hukum mengarah kepada pendekatan kemasyarakatan. Ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara merupakan perangkat normatif yang akomodatif dan berorientasi pada pendekatan masyarakat. Menghindari semaksimal mungkin segala bentuk penyimpangan dalam penyelenggara negara ini.

Sebaliknya, sebelum proses pelayanan publik berjalan, kewenangan dan kekuasaan masih menempatkan aturan/hukum sebagai komoditas ekonomi, bahkan dijadikan tempat meraup keuntungan. Kasus Pungutan liar (pungli) 3 (tiga) oknum pegawai negeri sipil Kementerian Perbubungan terkait dengan perizinan maupun oknum polisi yang melakukan pungli dalam pembuatan/perpanjangan SIM di sejumlah gerai di Jakarta mencerminkan aturan atau hukum hanyalah sebagai roda bergulirnya kewenangan dan kekuasaan untuk meraup keuntungan pribadi.

Ketiga, Legal culture (budaya hukum) merupakan aspek yang penting yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan-ketentuan sebagai pola pikir sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar pentingnya hukum sebagai regulasi umum. Budaya hukum erat kaitannya dengan etika dan moral masyarakat dalam menyikapi perilaku menyimpang yang dilakukan oknum-oknum penyelengaran pemerintah. Masalah rendahnya moral dan budaya hukum inilah yang sangat penting untuk ditumbuhkan negara. Jika tidak akan menganggung struktur dan substansi secara keseluruhan. Masyarakat sebagai penerima manfaat layanan birokrasi harus sadar dan mengerti bagaimana seharusnya layanan ini diberikan.

Pada akhirnya, memasuki 2 (dua) tahun kepemimpinan presiden Jokowi dan wakil presiden Jusuf Kalla, keberadaan aparatur sipil negera/ pihak terkait yang memberikan layanan publik sangatlah penting, antara lain menjadi pelaksana kebijakan pemerintah untuk warga negaranya. Mewakili negara melakukan fungsi-fungsi dalam pelayanan publik. Di sisi lain, pembaharuan terhadap tata kelola birokrasi juga sangatlah penting. Ketidakseimbangan struktur, substansi dan budaya hukum, akan menghasilkan erata (kesalahan) yang menimbulkan kembali penyimpangan-penyimpangan dalam pelayanan terhadap publik. Semoga terbangunnya good governance dalam pelayanan birokrasi.

Tulisan ini dimuat di Singgalang, 19 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Postingan terakhir

PENGECEKAN SERTIPIKAT KE BPN kah?

google.com/foto Ya, Ke BPN  Betul ke BPN. Yakin betul ke BPN? Kemana kalau PPAT akan melakukan pengecekan sertipikat hak atas ta...