Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review yang diajukan oleh Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) dkk, dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana dalam pasal tersebut selalu menjadi celah pihak eksternal untuk melakukan judicial review.
Dalam amar putusan Nomor 16/PUU-XVIII/2020 MK memutuskan PJI tidak memiliki legal standing. Sedangkan pemohon II, yaitu jaksa Olivia, dinyatakan memiliki legal standing karena mendapatkan kerugian konstitusional saat melakukan penuntutan dalam kasus keterangan palsu.
“Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan live streaming, Selasa (23/6/2020).
Menanggapi hal itu, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP.INI) langsung merespon dengan menggelar jumpa pers di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Dalam jumpa pers hadir Ketua Umum PP.INI Yualita Widyadhari, Sekretaris Umum Tri Firdaus Akbarsyah, Ketua Bidang Humas Wiratmoko, dan Ketua Bidang Perlindungan Anggota Agung Iriantoro.
Ketua Umum PP.INI Yualita Widyadhari mengatakan syukur alhamdulilah pada hari ini MK telah mengeluarkan putusan menolak judicial review yang diajukan oleh PJI, dengan adanya putusan ini menjadi kabar bagus bagi Ikatan Notaris Indonesia (INI) mengingat sudah beberapa kali UUJN terutama pasal 66 diajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi tetapi selalu ditolak.
“Jika kita mengacu pada UUJN itu, notaris juga merupakan sebuah lembaga yang diangkat oleh negara. Dimana kami (notaris) bisa mempunyai hak untuk menggunakan lambang negara (stempel burung garuda),” ujarnya saat menggelar jumpa pers di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa (23/6/2020).
Lanjut Yualita, kami diberikan tugas untuk membuat akta otentik terkait perlindungan bagi masyarakat maupun negara. Masyarakat harus terlindungi dengan keberadaan pasal 66 tersebut, jangan sampai rahasia yang dipercayakan oleh masyarakat kepada notaris tidak terjamin dan terlindungi dengan baik. Karena akan sangat gampang dibongkar atau dilanggar oleh notaris, baik karena keinginan sendiri atau karena paksaan orang atau pihak lain.
Selain itu, lanjut Yualita, keberadaan pasal 66 UUJN juga dalam rangka melindungi protokol notaris yang merupakan arsip negara, yang penyimpanan dan penjagaannya telah dipercayakan oleh negara kepada notaris melalui UUJN.Oleh karena itu, kita semua harus menghormati dan menjalankan perintah undang-undang yang telah mengatur perihal tersebut.
“Jadi hal tersebut sudah cukup jelas tidak ada hal istimewa bagi notaris untuk mendapatkan perlindungan apabila notaris memang melakukan suatu kesalahan. Sejauh ini yang namanya MKN juga terdiri dari tiga unsur, bukan hanya dari notaris tapi ada dari akademisi dan pemerintah (kepolisian/kejaksaan) ada disitu,” jelasnya.
Artinya, tambah Yualita, MKN itu berupaya semaksimal mungkin memberikan kebenaran bukan perlindungan dengan disertai fakta-fakta yang ada untuk meluruskan permasalahan yang ada. Jadi bukan berarti itu suatu perlindungan dari notaris.
“Kalau untuk penyidik sendiri kita sudah ada MoU dengan kepolisian sehingga sudah banyak memberikan pencerahan bagi kami dan juga kepolisian karena kami sama-sama berbagi ilmu disitu. Dengan adanya putusan MK tersebut semoga teman-teman notaris semakin semangat untuk menjalankan jabatannya sesuai dengan UUJN,” tegasnya.
Sementara itu Sekretaris Umum PP.INI Tri Firdaus Akbarsyah menyatakan dengan ditolaknya judicial review menandakan bahwa UUJN masih berdiri tegak, karena sudah tiga kali UUJN ini digoyang khususnya di pasal 66. Di sini menandakan UU yang mengatur jabatan notaris, itu harus dipatuhi oleh seluruh warga negara Indonesia terutama oleh penyidik yang harus memahami pasal 66.
“Tidak serta merta dengan kewenangan penyidik yang ada bisa seenaknya memanggil notaris, karena kita ada Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Dimana tugas MKN itu menjaga bahwa dalam hal perizinan pemanggilan terhadap notaris harus mendapatkan izin dari MKN” katanya.
Lebih lanjut Tri mengungkapkan di dalam MKN itu ada beberapa unsur yakni notaris, pemerintah dan akademisi. Di sinilah persepsi yang ada harus disamakan, persepsi dari penyidik pidana dan perdata. Kitab suci kita memang beda kalau dari kita secara formil, sementara kalau dari penyidik itu secara materil sehingga hal ini harus kita hormati satu sama lain.
“Di samping itu juga kami meminta kepada notaris seluruh Indonesia bahwa dengan jabatan yang diberikan oleh pemerintah selayaknyalah dalam bertindak sebagai seorang pejabat, jangan diangkat sebagai pejabat umum tetapi tingkah lakunya bukan seperti seorang pejabat dalam hal menjalankan jabatannya sebagai seorang notaris,” ucapnya.
Selain pada itu, tambah Tri, kepada teman-teman juga, ingat apapun yang anda perbuat seperti membuat akta sebagaimana yang diamanatkan di dalam UU Jabatan Notaris itu akan dimintai pertanggungjawabannya baik itu di penyidikan sampai di tingkat pengadilan. Dalam hal ini saya minta kepada teman-teman, ketentuan dan aturan yang ada harus tetap kita jalankan.
Jangan sekali-kali kita mencoba untuk melanggar, karena situasi dan kondisi seperti sekarang ini sepertinya notaris diobok-obok terus oleh para penyidik. Seakan-akan notaris itu tidak benar, dia buat akta tidak sesuai dan sebagainya. Kembali lagi ke pasal 16 yang menyatakan bahwa notaris itu harus jujur dan seksama.
Memang ada satu atau dua oknum notaris yang melakukan hal-hal diluar kepatutan dalam membuat akta sehingga penyidik mempunyai persepsi menyama ratakan bahwasanya notaris seperti itu.”Dengan pengujian uji materiil terhadap UUJN pasal 66 yang ditolak oleh MK berarti sudah sesuai dengan peraturan yang ada, apalagi hal ini sudah dicoba tiga kali namun selalu dibatalkan,” pungkasnya.
*HSY