Kerugian Negara dalam perspektif undang-undang memiliki pengertian :
1. Kerugian Negara dari perspektif hukum administrasi Negara ialah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 angka 11 No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 15 UU No.15/2006 tentang BPK). Terjadinya kerugian negara seperti ini akan ditangani secara administratif yang umumnya hanya berupa tuntutan ganti rugi baik dalam kapasitas bendaharawan maupun non bendaharawan yang selanjutnya diikuti dengan hukuman disiplin yang berlaku bagi para penyelenggara Negara.
2. Kerugian Negara dari perspektif hukum perdata adalah berkurangnya kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga atau saham, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma atau yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam UU No. 40/2007 tentang PT dan UU No. 19/2003 tentang BUMN, kerugian Negara seperti ini akan diselesaikan dengan peradilan perdata mengikuti hukum privat (KUHPerdata).
3. Kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum pidana ialah suatu perbuatan yang menyimpang terhadap penggunaan dan pengelolaan keuangan Negara sehingga dikualifikasikan sebagai perbuatan merugikan keuangan Negara sebagai tindak pidana korupsi, dengan pemenuhan unsur :
a. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, baik dalam pengertian formil maupun materiil atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya;
b. Para pihak ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik pelaku sendiri, orang lain maupun korporasi (Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31/1999 Jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Menurut Dr. Adi Toegarisman pengertian kerugian Negara tersebut memberikan suatu determinasi terhadap unsur-unsur terpenuhinya kriteria kerugian Negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1/2004, yaitu :
-berkurangnya keuangan Negara;
-bersifat nyata dan pasti jumlahnya; dan
-sebagai akibat perbuatan melawan hukum.
"Ada seorang Notaris membantu proses pengikatan antara Bank BUMN dengan debitor dengan objek jaminan HGB diatas tanah HPL. Seperti biasa dibuatlah covernote sebagai prasyarat pencairan, dan menyebutkan bahwa objek jaminan sedang dalam proses termasuk pengikatan jaminannya. Dengan dasar covernote maka dicairkanlah kredit tersebut. Berselang waktu yang tidak lama ternyata dokumen jaminan tidak bisa dijalankan karena sesuatu hal, debitor-pun kabur….
Jadilah kredit macet, dan Bank (pejabat bank) dengan Notaris dituntut dengan TIPIKOR, tepatkah?"
-Prof. Arifin P Soeria Atmadja mengatakan bahwa ketika negara mendirikan BUMN/Persero dihadapan notaris, dan menjadi pemegang saham, dengan menyetor sejumlah modal, negara menundukan diri pada hukum perdata. Negara sebagai pemegang saham memiliki kedudukan yang sama dengan pemegang saham lainnya, dan menjadi subjek hukum perdata biasa tanpa imunitas publiknya.
-Pasal 4 ayat 1 UU BUMN menyebutkan pembinaan dan pengelolaan kekayaan tidak lagi didasarkan system APBN tetapi didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Bank BUMN tercakup didalamnya sehingga ketentuan piutang bank BUMN bukan lagi merupakan piutang negaram, dan harus mengikuti mekanisme yang berlaku bagi perusahaan swasta.
-Prof. Erman Rajagukguk, dapat disimpulkan dari Pasal 2 g UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, ialah kekayaan BUMN itu adalah keuangan Negara. Kekayaan BUMN adalah keuangan Negara yang dipisahkan, artinya kekayaan BUMN adalah keuangan Negara. Pasal 2 huruf g tidak diartikan bahwa kekayaan Negara yang dipisahkan itu adalah saham, karena saham sudah dimasukkan dalam surat berharga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 hurug g itu sendiri : “kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga…”.
Unsur lainnya dapat dilihat dari Pasal 2 g kekayaan BUMN adalah keuangan Negara adalah :
1. BPK mempunyai wewenang untuk memeriksa keuangan BUMN (Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 11 huruf a UU No. 15/2006 tentang BPK).
2. Komisi di DPR meminta DPR harus memberikan persetujuan dalam pelepasan aktifa BUMN yang julahnya 100 Milyar atau lebih.
-Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
-Pasal 3 berbunyi “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
-Pasal 18 :
(1), Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; Penjelasan
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana;
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b , maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan karenanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).
1. Kesengajaan (opzet)
Sesuai teori hukum pidana Indonesia dari beberapa ahli hukum pidana, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
2. Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.
Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yaitu :
a. Kewenangan Umum Notaris
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris, yaitu membuat akta secara umum,hal ini disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris, dengan batasan sepanjang :
-Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
-Menurut Lubbers, bahwa Notaris tidak hanya mencatat saja (kedalam bentuk akta), tapi juga mencatat dan menjaga, artinya mencatat saja tidak cukup, harus dipikrkan juga bahwa akta itu harus bergunadikemudian hari jika terjadi keadaan yang khas.
-Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
-Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut di dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris :
-Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak kedalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
-Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.
b. Kewenangan Khusus Notaris
Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu :
-Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
-Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
-Membuat copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
-Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;
-Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
-Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
-Membuat akta risalah lelang.
c. Kewenangan Notaris yang Akan Ditentukan Kemudian.
Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan ditentukan kemudian (ius constituendum).
Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika notaris melakukan tindakan diluar wewenang yang telah di tentukan, maka notaris telah melakukan tindakan diluar wewenang, maka produk atau akta notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan, dan pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan notaris diluar wewenang tersebut, maka notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.
Apabila kita lihat pasal penyertaan yang menyebutkan :
Pasal 55 ayat (1) : Dapat dipidana sebagai pelaku tindak pidana : (1) mereka yag melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan ; (2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Pasal 55 ayat (2) : Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Menurut Prof. Eddy Hiariej, terhadap PENYERTAAN terdapat 2 pandangan:
a. Pandangan yang menyatakan bahwa penyertaan adalah persoalan pertanggung jawaban pidana dan bukan merupakan suatu delik karena bentuknya tidak sempurna.
b. Pandangan yang menyatakan bahwa penyertaan adalah aturan aturan yang memberi perluasan terhadap norma yang tersimpul dalam UU, artinya adanya perluasan terhadap perbuatan yang dapat dipidana.
*dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar