Walaupun regulasi berkaitan dengan pemilikan hak atas tanah untuk WNA dan badan hukum telah diatur dengan detail oleh beberapa peraturan, sebagaimana disebutkan sebelumnya, yaitu dalam bentuk HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Sewa, tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa kepemilikan hak atas tanah yang tertinggi adalah Hak Milik.
Oleh karena hak milik hanya dapat dimiliki oleh WNI dan merupakan hak turun temurun, hak terkuat dan terpenuh serta mudah dialihkan kepada pihak lain sebagaimana disebutkan dalam pasal 20 ayat (1) UUPA, hal tersebut menjadi incaran setiap orang, WNA atau Badan Hukum. Karena, pemilikannya yang tidak dibatasi oleh waktu dalam kepemilikan hak atas tanah.
Dalam praktik, terdapat berbagai jenis perjanjian secara notariil berkenaan dengan penguasaan tanah oleh WNA dan Badan Hukum, akan tetapi secara garis besar perjanjian yang ditempuh adalah :
-perjanjian induk yang terdiri dari perjanjian pemilikan tanah (land agreement) disertai dengan surat kuasa.
-perjanjian opsi;
-perjanjian sewa menyewa (lease agreement), disertai kuasa menjual (power of attorney to sell);
-hibah wasiat;
-surat pernyataan ahli waris;
Apabila dilihat secara sepintas lalu, perjanjian secara notariil yang dilakukan sebagaimana disebutkan di atas, seolah-olah tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena tidak dalam bentuk pemindahan hak secara langsung.
Akan tetapi, apabila dilihat dari isi perjanjian dan diperiksa dengan saksama, maka secara jelas semua perjanjian sebagaimana disebutkan di atas secara tidak langsung dimaksudkan untuk memindahkan tanah hak milik kepada WNA atau badan hukum.
-Perjanjian pemilikan tanah dan pemberian kuasa, isinya pihak WNI mengakui, bahwa tanah HM yang didaftar atas namanya bukanlah miliknya, tetapi milik WNA yang telah menyediakan dana untuk pembelian tanah HM beserta bangunan.
(perhatikan juga pasal 1320, 1321, dan 1337 kuhperdata).
-selanjutnya pihak WNI memberi kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada pihak WNA untuk melakukan segala tindakan hukum tanah milik dan bangunan.
-Dalam perjanjian opsi disebutkan pihak WNI memberikan opsi untuk membeli tanah HM dan bangunan kepada pihak WNA, karena dana untuk pembelian tanah hak milik dan bangunan itu disediakan pihak WNA.
-Dalam perjanjian sewa menyewa : pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur tentang jangka waktu sewa berikut opsi untuk perpanjangannya beserta hak dan kewajiban pihak WNI dan penyewa WNA. Misalnya, jangka waktu sewa 99 tahun. Bukankah ada asas “nemo plus juris transfere potest quam habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai.
-Dalam kuasa menjual, berisi pemberian kuasa denga hak substitusi dari pihak WNI sebagai pemberi kuasa kepada pihak WNA sebagai penerima kuasa, untuk melakukan perbuatan hukum menjual dan memindahkan tanah hak milik dan bangunan kepada siapapun.
-Hibah wasiat, dalam hal ini pihak WNI menghibahkan tanah hak milik dan bangunan atas namanya kepada WNA.
Padalah sudah sangat jelas, Pemberian dengan Wasiat yang mengakibatkan orang asing atau WNI berkewarganegaraan ganda memperoleh tanah dengan status hak milik, berlaku Pasal 26 ayat 2 UUPA, yaitu :
-pemberian tersebut batal demi hukum
-tanahnya jatuh pada negara
-hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung
-semua pembayaran yang telah diterima pemilik tidak dapat dituntut kembali.
-Pewarisan yang terjadi karena hukum (pewarisan tanpa wasiat), yang mengakibatkan orang asing atau WNI berkewarganegaraan ganda memperoleh tanah hak milik, berlaku Pasal 21 ayat (3) UUPA yaitu :
-dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan HM tersebut;
-apabila lewat dari 1 tahun tidak melepaskan haknya, maka haknya hapus karena hukum, tanahnya jatuh pada negara, hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung.
Perjanjian-perjanjian sebagaimana tersebut di atas,sebetulnya diadopsi dari sistem hukum anglo saxon berdasarkan istilah trustee dari kata trust (percaya) :
TRUST IS CREATED WHERE THE ABSOLUTE OWNER OF PROPERTY (THE SETTLOR) PASSES THE LEGAL TITLE IN THE PROPERTY TO A PERSON (THE TRUSTEE) TO HOLD THAT PROPERTY ON TRUSTS FOR THE BENEFIT OF ANOTHER PERSON (THE BENEFICIARY) IN ACCORDANCE WITH TERMS SET OUT BY THE SETTLOR. TENTU DENGAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA TIDAK DAPAT DITERAPKAN, KARENA TIDAK SESUAI DENGAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU.
Tulisan Dr. Udin Narsudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar