Notaris/PPAT diminta menghadap, berhadapan, hadir dihadapan dengan debitur/penghadap setiap akad kredit dikantor bank, tidak boleh diwakilkan kepada siapapun, satu dan lain hal serta tidak terbatas mengacu pada ketentuan yang berlaku, demi terpenuhinya syarat akta otentik (vide 1868 BW).
Namun uniknya pejabat bank/kreditur tidak wajib hadir, kadang hadir, tapi lebih banyak alpa. Padahal untuk memenuhi formalitas dan otensitas suatu akta, semua penghadap wajib hadir bersamaan pada waktu yang sama, membaca/dibacakan akta serta membubuhkan teken/jempol mutatis mutandis secara bersama pula. Ancaman akibat pengabaian prosedur demikian adalah akta akan tergradasi menjadi kekuatan dibawah tangan (tidak otentik). Notaris/ PPAT berpotensi dituntut ganti rugi++ atas kelalaiannya dimaksud.
Mirisnya ketika bermasalah hukum, bank/kreditur tendensius kerap terkesan menyalahkan NOTARIS/ PPAT, dengan mewajibkan ybs menanggung, memikul beban segala akibat dari "cacat hukum bawaan" dari akad tersebut. Terjadi ketidak seimbangan pertanggungjawaban hukum, dengan ancaman putusnya kerjasama dengan bank tersebut. Ngeri2 sedap. "LAIN YANG MAKAN NANGKA, LAIN YANG KENA GETAHNYA?"
Mayoritas rekanan bank faham dan kerap mengalami hal semacam ini. Cuma mau mengakui/tidak. Tidak dapat mengelak demi sesuap nasi dan sekarat berlian, walaupun resiko hukum bisa jadi sekarat pula. Benarkah demikian? TANGAN MENEKEN, BAHU MEMIKUL?
Sampai kapan terus begini? Mari kita biasakan yang benar, jangan membenarkan yang biasa (mengutip jargon pak winanto).
"TIDAK ADA CARA YANG BENAR UNTUK MELAKUKAN KESALAHAN".
SELAMAT ULTAH INI. JAYALAH INI!
Batam, 27/06/21
Johari (Notaris/PPAT Batam).