Mengkaji dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor : 18/PUU-XVII/2019 yang memutuskan bahwa Sertifikat Fidusia yang berirah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “ tidak punya kekuatan Eksekutorial secara langsung jika Debitur Wanprestasi, tapi tetap harus berdasarkan putusan pengadilan.
Saat ini berdasarkan peraturan perundang-undangan ada 5 (lima) institusi yang oleh undang-undang dalam produk hukumnya yang tertentu wajib menggunakan irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", yaitu :
a. Pengadilan (putusan pengadilan)
b. Kantor Pertanahan (sertifikat Hak Tanggungan)
c. Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Sertifikat Fidusia)
d. Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal.
e. Pejabat Lelang (Kelas I dan Kelas II) – (Grosse Akta Pejabat Lelang (I/II).
f. Notaris (Grosse Akta Notaris)
Dalam praktek tidak jarang juga suatu putusan (dari instansi tertentu tersebut di atas) yang mempunyai irah-irah dibatalkan oleh putusan pengadilan yang memang wajib mempunyai Irah-irah. Apakah dalam tiap Irah-irah yang dikeluarkan oleh tiap instansi tersebut dengan mempunyai Tuhan yang berbeda ? Apakah mungkin jika Tuhannya sama tapi saling membatalkan ? Apakah para pembuat peraturan perindang-undangan pernah bertanya kepada Tuhan bahwa namaNya akan dipakai sebagai irah-irah ?
Apalagi lagi Grose Akta Notaris dengan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHAN YANG MAHA ESA “ saat ini sudah tidak mempunyai kekuatan (secara hukum) lagi dan sudah tidak bisa dibanggakan lagi. Apalagi Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) bagaimana caranya agar cepat terbit, padahal didalamnya membawa nama Tuhan – (bisa dijawab oleh kita sendir). Semoga Tuhan tidak marah karena namaNya dibawa dan disebutkan dalam sebuah transaksi, kita semua mohon ampun.
Biarkan penggunaan irah-irah tersebut menjadi kewenangan pengadilan saja (Yudikatif).
Tulisan dari Dr Habib Adjie